• d u a p u l u h e m p a t •

41 7 0
                                    

Vera tiba-tiba tertawa. Tawanya terdengar lebih heboh daripada saat dia menggoda Navy tadi. Dia bahkan sambil bertepuk tangan, berguling di atas kasur adiknya, lalu memegangi perutnya yang mungkin terasa keram akibat terlalu keras tertawa.

Melihat Vera seperti itu, lagi-lagi Navy menyadari bahwa dia masuk ke dalam jebakan ulung milik kakaknya. Memang keusilan wanita itu tidak ada yang bisa menandinginya.

"Konyol, Ci!" sembur Navy kesal. Lalu bangkit dari kursinya, mengambil bantal guling, dan menghantamkannya ke sosok yang masih tertawa sambil berguling di kasurnya. "Enggak lucu!" sungutnya.

"Lucu dong!" Vera merespons seperti orang berteriak karena dia belum bisa menghentikan tawanya. "Kamu..." Dia tertawa. "Harus lihat..." Dia tertawa lebih heboh lagi. "Ekspresi kamu itu loh."

Dan pada akhirnya, Navy hanya menonton kakaknya yang menggila dengan leluconnya sendiri.

Wajah Navy memanas karena malu. Tidak, bukan hanya wajahnya saja. Tapi seluruh tubuhnya. Tungkainya terasa lemas. Tanpa mengatakan apapun, dia mengempaskan tubuhnya ke kasur. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Rasa malu benar-benar telah menggerogotinya.

Selang beberapa menit, Vera akhirnya berbicara lagi. "Aku memang suka dia kok."

Tolong jangan diulang lagi.

"Kan suka bisa ke siapa aja, Vy. Kalau ngasih kepercayaan soal perasaan kita, baru deh ke orang yang lebih spesifik," ujar Vera. Suaranya terdengar amat riang menandakan sisa tawanya masih bersarang di sana.

Navy tidak menjawab. Dia masih mempertahankan posisinya. Kedua tangang menutupi wajah dan kaki yang berayun-ayun di pinggir kasur.

"Aku tahu kok kamu suka dia," ujar Vera lagi, membuat jantung Navy nyaris copot—bila memungkinkan. "Atau...," Vera menoleh ke arah adiknya yang masih bersembunyi di balik kedua telapak tangannya, "mungkin lebih daripada itu."

Mendengarnya, lantas Navy keluar dari persembunyiannya dan menatap kakaknya. Vera tersenyum melihat adiknya seperti itu.

"Cici tahu dari—"

"Dari siapa?" selanya, Navy mengangguk mengiakan. "Dari kamu dong."

"Hah?" Adiknya itu tidak bisa menutup keterkejutannya. "Memangnya aku pernah cerita?" Vera menggeleng. "Terus...."

Navy berpikir segala kemungkinan dari mana Vera mengetahui perasaanya terhadap adik sepupunya Desmond. Atau jangan-jangan—

"Kamu baca diary-ku, ya?!"

"Hah?"

Kali ini Vera yang terkejut.

"Aku tahu kamu punya diary aja enggak!" sembur Vera.

Oh, shit, umpat Navy membatin. Secara tidak sengaja dia membocorkan rahasianya mengenai catatan tengah malam itu.

Vera terkekeh. "Jadi, benar ya? Kamu itu mungkin lebih dari suka terhadap Red? Sampai bikin diary gitu."

"Tolong, Ci. Jangan bocorin ke siapa-siapa," ujar Navy memohon. Dia benar-benar memohon agar kakaknya ini tidak membocorkan hal memalukan ini ke pacarnya, apalagi sepupu dari pacarnya itu.

"Ya, enggaklah! Kamu kira mulutku seember itu?" balas Vera serius. "Aku cuma kaget ternyata kamu se-demen itu sama Redi sampai nulis diary segala." Kemudian, dia seperti mendapat sebuah kesimpulan brilian dan menjentikkan jarinya. "Oh, aku tahu!"

"Tahu apa?" tanya Navy hati-hati.

"Pas tadi aku manggil kamu, terus kamu langsung gelagapan...." Dia menatap adiknya menelisik. "Itu karena kamu lagi nulis diary, ya?"

Percuma bagi Navy untuk mengelak. Toh, dia—dengan bodohnya—mengatakan soal keberadaan buku berjilid spiralnya itu. Jadi, dengan berat hati, dia mengangguk.

"Aku jadi kamu juga panik sih," kekeh Vera. "Cuma aku tahunya bukan dari situ, tapi dari kamu sendiri."

"Kamu udah bilang itu tadi," jawab Navy terdengar tidak sabar. Dia penasaran bagaimana kakaknya ini bisa tahu.

"Kamu kira aku enggak sadar sama gelagatmu pas aku ajak makan bareng tadi?" Navy terdiam, Vera melanjutkan. "Your eyes stuck on him. Desmond sadar itu, tapi enggak tahu deh si Joshi sama target tatapanmu sadar juga atau enggak."

Navy bisa merasakan keringat dingin muncul perlahan.

"Harusnya sih, dia sadar. Soalnya, ditatapnya kayak orangmau nerjang gitu. Gimana enggak bakal enggak sadar coba?"

Dan pipi Navy kembali memanas.

"Ci," panggil Navy pelan dan disahut gumaman. "Aku harus gimana?"

Sebelah alis Vera terangkat. Menatap adiknya bingung. "Gimana apanya?"

"Red tahu. Terus...."

"Terus, yaudah," shaut Vera enteng. "Vy, bukannya bagus ya kalau orang yang disukai itu nyadar? Kalau misalkan kamu diam-diam saja, ya mana tahu kalau kamu suka dia."

"Tapi, ci, kalau dia menjauh gimana?"

"Ya, kalau dia menjauh, berarti dia enggak suka kamu." Vera menjawab dengan tenang dan sederhana, namun sanggup membuat Navy meringis. "Daripada kamu buang-buang waktu suka sama orang yang rupanya enggak suka kamu? Mending dia menjauh dengan sendirinya, jadi kamu bisa bebas lagi."

Perkataan Vera memang ada benarnya dan itu seperti tertanam di kepalanya. Jika Red mengetahui perasaannya dan memilih untuk menjauh, meskipun itu sakit, setidaknya dia mendapat kepastian dengan perasaan konyolnya.

Namun jika Red tetap ada...

Tolong jangan terlalu naif.[]

• • •

Jangan terlalu nethink, tapi juga jangan terlalu naif yaa. ❤

I Wrote This at Midnight✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang