BAB 9

5.9K 590 6
                                    

"Bolu MENANTU."

Pekarangan hijau dengan tatatanan bunga mawar memanjakan mata siapapun yang melihat. Rumah megah berwarma putih begitu terlihat kokoh. Ada dua mobil terparkir di garasi. Layaknya desripsi itu cukup mampu menjelaskan mapannya kehidupan anggota keluarga di dalamnya. Motor Ninja Kawasaki hitam baru saja terparkir. Helm hitam sudah tidak lagi menyembunyikan paras tampan cowok berlesung pipit itu. Ia mengambil tote bag yang digantung.

Pintu utama terbuka memperlihatkan kemegahan ruangan. Foto keluaga terpampang menyapa. Perabotan yang rata-rata branded mampu membuat tenggorakan yang melihat kering. Kini kaki Gana sudah memasuki ruang tengah. Ia menengok kanan kiri. Biasanya jam-jam sore adalah waktu keluarganya berkumpul. Namun entah mengapa hari ini.

"Ma," ucap Gana.

Hening. Tidak ada yang menyahut.

"Halo baby honey."

Seketika suara wanita datang menyambar. Tangan perempuan yang masih menggunakan celemek. Kulit perempuan itu kuning langsat dengan rambut digelung. Ia selalu terlihat cantik walau tanpa polesan make up sekali pun.

"Mama apaan sih?"

Liana namanya, perempuan itu sangat gemas melihat ekspresi marah Gana. Ia selalu mencubit pipi anaknya itu saat bertemu.

"Iih! Gemesin banget anak."

Akhirnya Liana melepaskan cubitan. Wajah Gana masih masam. Ia tidak suka diperlakukan seperti bayi. Setiap pulang Liana tidak pernah absen untuk mencubiti pipi. Sempat Gana membentak dan hasilnya Liana jatuh sakit sampai satu minggu. Saat itu juga Gana selalu menyiapkan kesabaran ekstra untuk mendapatkan perlakuan setiap ia pulang. Gana merebahkan tubuh di sofa. Matanya menatap langit-langit. Tangannya sedikit pegal, pasti ini gara-gara ia mulai jatuh cinta pada dia. Dia? Si panah. Jangan berpikir Gana jatuh cinta pada Tere. Karena jawabannya tidak akan mungkin.

"Gana ini apa?"

Gana menoleh pada benda yang ditenteng oleh Liana.

"Oh itu," sebenarnya ia enggan menjawab. "Dari orang tua temen," jawabnya seraya memejamkan mata. Sungguh, Gana ingin tidur walau untuk sepuluh menit. Hari ini begitu melelahkan. Di sisi lain otak Liana bekerja keras. Ada sinyal-sinyal tertangkap. Senyum Liana mengembang, ia mendekat dengan cepat pada Gana membuat cowok itu mendengus.

"Orang tua pacar kamu?"

Sontak mata Gana membelalak.

"Gana gak punya pacar," jawabnya malas dengan mata masih tertutup.

"Jujur kali sama mama masa main rahasia-rahasia sih," godanya lagi mencoel lengan Gana.

"Ma, Gana mau tidur," jawab Gana membalikkan posisi menjadi tengkurap lantas ia menutupi kepala dengan bantal.

"Gana kamu gak seru nih. Kenalin dong kalo mama udah punya calon mantu."

Gana tidak menjawab. Toh dia tidak harus menjelaskan apapun.

"Gana!" panggil Liana

"Gana! Siapa calon mantu mama?"

Tidak ada respon. Kali ini Gana benar-benar sudah terlelap dalam tidur.

"Udah tidur anak mama?"

Liana menghela napas panjang. Ia kembali melirik isi tote bag. Saat mengetahui ada roti bolu di dalamnya rasanya begitu menggoda. Buru-buru Liana membawa roti itu ke dapur. Meski rumah ini besar, Liana mengurus rumah ini sendiri tanpa bantuan asisten rumah tangga. Kata Liana inilah pekerjaan sempurna seolah ibu rumah tangga. Galih Gutama papa Gana pun sudah berkali-kali membujuk agar ada asisten yang membantu namun tetap saja Liana menolak.

Keadaan rumah ini semakin ramai saat Galih pulang dari kantor tepatnya perusahaan yang ia pimpin. Salah satu perusahan terkemuka di Jakarta. Meski hanya ada mereka bertiga suasana rumah ini tidak pernah sepi. Apalagi kalau Galih sudah mengomel, sampai pagi pun tidak akan selesai. Saat ini mereka sedang berkumpul di meja makan. Kali ini giliran menu makanan faforit Galih setelah kemarin makanan faforit Liana. Ayam geprek sambal matah.

"Gimana kuliah kamu? Lancar?"

"Lancar," jawab Gana singkat seraya menyuapkan nasi ke mulut.

"Gana jawabnya panjang dikit kali nak. Kayaknya produksi kata-kata mama sama papa kamu banyak deh. Kenapa nurunya ke kamu jadi limited ya," kata Liana jadi bingung sendiri.

"Besok biar papa beliin pisang ma biar Gana banyak omongnya," timpas Galih sedikit melirik Gana.

Gana tidak peduli. Ia pura-pura tidak mendengar walau tau apa yang dimaksud kedua orang tuanya itu. Gana memang tidak banyak bicara seperti Galih dan Liana yang suka berbicara meski dengan topik yang tidak penting dibicarakan. Misalnya saja saat iti mereka saling adu argumen mengapa manusia tidak bisa terbang padahal kalau terbang akan lebih irit. Dalam posisi seperti itu Gana hanya mampu menyaksikan lantas memilih menyumpali telinga dengan earphone.

"Pa," panggil Liana sedikit berbisik.

"Apa?"

Liana melirik ke arah Gana.

"Papa nih ada bolu. Sumpah mama suka ini enak banget," ucap Liana menyodorkan irisan bolu.

"Dari siapa ma?"

Nah, ini waktunya Liana untuk beraksi.

"Itu tuh orangtuanya caman."

Mendengar kosa kata yang jarang didengar dahi Galih mengernyit.

"Caman?"

"Iya pa. Calon mantu."

Sontak saja pandangan Gana langsung terangkat. Malas. Ternyata ia harus mendengar ucapan itu lagi di meja makan.

"Kamu punya pacar?" tanya Galih melepaskan kacamata minusnya. Menurut Galih ini adalah berita yang aneh. Masalahnya Gana putranya itu anti dengan perempuan setelah dengan Salsa. Gana malas menjawab. Ia masih sibuk menyelesaikan makan. Tidak berniat sedikitpun untuk menjawab.

"Iya tuh pa cuma diem-diem bae gak mau ngomong," sergah Liana cepat.

Suasana meja makan mendadak panas. Tangan Gana mengepal kuat. Rahangnya mengeras memperjelas garis wajah. Ia melepaskan sendok dari tangan menimbulkan suara cukup nyaring. Ia berdiri dan meninggalkan meja makan.

"Gana kamu mau kemana? Makanan kamu belum habis loh."

Ia terus berjalan.

"Kenyang!" ucapnya terdengar ketus.


STAY TUNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang