BAB 38

2.6K 286 20
                                    

"Ada yang berlalu namun bukan angin."


Sepanjang hari Tere menghabiskan waktu di kamar. Tangannya sibuk membalas pesan dari Gana. Isi pesan Gana hanya permintaan maaf tentang tadi siang. Tere tidak bisa egois. Gana memang kekasih Tere namun bukan berarti ia berhak melarang Gana untuk tidak bersosialisasi dengan orang lain, perempuan lain bahkan mantannya sekalipun.

"Tangannya jangan gerak-gerak dong Re itu infus kamu nant-"

"Iya bunda ku sayang," potong Tere segera meletakkan ponsel di atas nakas.

Rasanya Fatimah ingin menangis namun ia tidak bisa atau Tere akan memarahinya. Tere selalu bilang kepada Fatimah dan Adam jika Tere tidak dalam bahaya jadi mereka tidak perlu khawatir ataupun bersedih-sedihan. Tangan Fatimah membelai lembut rambut Tere yang tengah terbaring dengan selang infus di tangan dan selang oksigen di hidung.

"Gana gak tau?"

"Jangan sampai tau bun."

"Kenapa sayang?"

Tere diam cukup lama. Ia menatap almamater Gana yang ia sampirkan di bahu Tere siang tadi.

"Tere gak tau kapan Tuhan akan ambil Tere. Di sisa umur ini Tere mau orang terdekat Tere bahagia. Mereka hanya boleh lihat senyuman bukan tangisan."

Bisa dibayangkan bagaimana jika seorang anak sudah didiagnosis hanya memiliki umur sepanjang umur jagung. Sudut mata Fatimah berair, ia menunduk dalam. Seorang ibu pasti akan tersayat melihat anaknya dalam ambang maut.

"Bunda," tegur Tere mengelus tangan Fatimah. Ia menggeleng memberi isyarat.

"Jangan, gak boleh nangis."

Fatimah mengusap kasar pipinya. Bibirnya mengulas senyum, sangat terlihat dipaksakan.

"Enggak kok nak. Bunda gak nangis cuma tadi bunda abis nonton sinetron perebutan suami."

Kalian pasti tau sinetron yang dimaksud Fatimah. Sedikit senyum membuat Tere bahagia. Rasa sakit ini tidak seberapa dibanding senyuman Fatimah meski hanya senyuman tipis. Infus, obat dan suntik adalah teman Tere setiap malam. Jika tidak ada ini entahlah apa yang akan terjadi pada Tere. Malam hari boleh diam membisu menahan sakit namun saat sang mentari menyapa Tere harus kembali dalam drama senyum, kebahagiaan dan keceriaan.

Pagi ini ia tidak berangkat bersama Gana. Pasalnya Gana mengirim pesan jika ia harus menemani Liana ke Surabaya untuk menjenguk neneknya yang mendadak sakit. Ia berjalan bersisihan dengan Raka dan Anaya. Tere merasa sepi walau di sisinya ada mereka yang asyik bercanda.

Menyadari keheningan Tere Anaya menyenggol lengan Tere cukup kuat hingga membuat gadis itu limbung menabrak Raka.

"Diem aja lo Re ati-ati kesambet."

"Apaan sih Na," balas Tere balik menyenggol lengan Anaya.

"Lo pucet Re. Lo sakit?"

Kini pertanyaan muncul dari Raka. Cowok itu memperhatikan wajah Tere dengan tatapan menyelidik. Tau jika Raka tidak bodoh buru-buru Tere membuang muka lantas terkekeh.

"Pucet apa sih kak? Kan aku bukan vampir."

"Muka lo beda gitu," Raka masih mencoba menyelidiki.

Jangan sampai ada satupun yang tau tentang kebenaran Tere. Otak Tere bekerja keras untuk mencari cara menghindari pertanyaan Raka selanjutnya. Tere yakin Raka akan menanyakan hal yang paling ia hindari.

"Dih kakak belagak jadi dukun ya?" goda Tere menyipitkan mata membuat Raka mendadak salah tingkah sendiri dipandang seperti itu. Tanpa ada yang tau jantung Raka selalu berdetak kencang tak beraturan ketika mata Tere menatap bilik matanya. Entah mengapa seolah mata Tere memiliki sorotan berbeda.

Andai lo bukan pacar Gana Re. Gue yakin bisa lebih bisa jaga lo – batin Raka diam-diam.

Seharian di sekolah tanpa kehadiran Gana rasanya sangat sepi dan membosankan. Tidak ada si rusuh kantin, tidak ada si biang onar koridor, tidak ada si jahil penunggu parkiran. Hari ini berjalan begitu lama. Tere ingin cepat-cepat besok dan bertemu Gana. Saat jam pelajaran berkali-kali ia membuka ponsel mengecek pesan Gana tetapi tidak ada satupun pesan yang masuk. Tere mendengus kesal meniup-niup poninya.

Sepi berlanjut sampai di rumah. Daripada terus menunggu pesan Gana Tere memilih keluar bermain ke rumah Anaya. Rumah mereka yang hanya terpaut beberapa blok memudahkan Tere. Hanya butuh sekitar sepuluh menit untuk sampai ke rumah Anaya itu pun dengan berjalan kaki. Namun ketika ia di rumah Tere rasa bosannya tidak kunjung hilang malah semakin bertambah. Bagaimana tidak, niat untuk mencari teman mengobrol malah ia dikacangin. Sahabatnya itu sedang asyik bertelepon dengan Agra. Entah apa yang mereka bahas sampai hampir dua jam itu.

"Udah?" tanya Tere kesal setelah Anaya menghampirinya.

"Hehe. Maaf deh Re."

"Eh kita beli makan yuk gue laper," ucap Anaya tanpa mempersilakan Tere berpikir. Anaya menarik lengan Tere begitu saja keluar rumah.

Angin sore memang angin terbaik. Berjalan di bawah redupnya senja membuat hati siapapun menjadi tentram. Untung saja jarak kafe dengan perumahan Anaya dekat. Kalau jauh Tere tidak akan mau diajak. Lebih baik ia di rumah dan bermain dengan kucing milik Raka.

Mata Tere menatap langit cukup lama. Andai senja ini bisa mengirim pesan rindu pada Gana maka sampaikanlah. Andai angin sore dapat menghembuskan keresahan pada Gana maka sampaikanlah dan katakana jika Tere sedang gelisah menahan rindu.

Kaki berjalan semakin mendekati kafe. Mata Tere menyipit memperjelas pandangan. Ia mengerjap berkali-kali takut-takut ia hanya berhalusinasi. Perasaan dan logikanya yakin jika yang dilihat adalah Gana. Gana sedang duduk di dalam kafe. Alis Tere menaut bingung, bukankah Gana ada di Surabaya? Namun mengapa ia malah di sini. Kaki Tere semakin melangkah maju hingga kini ia di ambang pintu kafe. Mata Tere membelalak lebar, dadanya terasa sesak, matanya rasanya memanas. Senyum Tere seolah dihancurkan seketika. Rasanya remuk melihat dia yang dirindukan malah asyik bercanda gurau dengan mantan. Gana terlihat begitu bahagia tertawa lepas bersama Salsa.

"Astaga lucu banget sih lo!" kata Salsa mengacak rambut Gana.

"Dasar gak sopan!" balas Gana menonyor kepala Salsa.

"Biarin! Abisnya lo lucu parah!"

Salsa meraih tangan Gana dengan senyuman.

"Eh nyanyiin lagi dong."

Apa ini artinya Gana telah membohongi Gana? Apa mereka seharian ini telah bersama? Pasalnya seharian ini Tere juga tidak melihat Salsa di sekolah. Mengapa ini lebih sakit dari tusukan jarum suntik. Tanpa Tere sadari pipinya sudah basah.

"Bangsat!" umpat Anaya melangkah maju namun lebih dahulu ditahan.

Tere menggeleng cepat.

"Biar gue yang mundur Na."










Semakin ke sini Gana semakin banyak perubahan :"(

Tim apa kalian?

TBC...

Luv luv, Dian Yustyaningsih.

STAY TUNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang