BAB 40

2.6K 322 71
                                    

"Izinkan semesta membawaku pergi hanya bersama kenangan saja bukan dengan kamu."

Salsa masih mengalungkan tangannya di leher Gana. Tatapan mereka saling beradu. Bahkan jarak mereka hanya terpaut satu jengkal.

"Gue tau lo belum bisa move on dari gue. Lo itu cuma jadiin Tere sebagai pelampiasan lo doang. Kalo lo emang udah move on kenapa gantungan kunci rajutan gue masih ada di tas lo?" tanya lagi Salsa semakin membuat dada Tere terasa sesak. Kenapa Tere baru sadar jika rajutan berbentuk hati itu masih menggantung di tas Gana.

"Beberapa hari terakhir ini kita habisin waktu di kafe ngebuat gue sadar kalo perasaan lo masih sama. Gue bisa lihat dari gimana cara lo pandang gue itu masih sama saat dulu."

Salsa semakin maju hingga jarak mereka benar-benar habis ketika satu kecupan melandas di pipi kanan Gana.

"Gue masih sayang sama lo. Gue masih cinta sama lo Gana. Kita bisa mulai semua dari awal. Oke?"

Hancur sudah hati Tere. Dia yang dianggap istimewa begitu mudah berhianat. Dia yang pertama membuat tersenyum sepanjang hari begitu mudah membuat luka. Dia yang membuat melayang bersama cinta begitu mudah menghantamkan menuju jurang kepedihan.

"Kak Gana," ucap Tere lirih namun masih mampu Gana dengar.

Melihat kehadiran Tere membuat Gana buru-buru mendorong Salsa dari hadapannya. Di sisi lain kaki Tere melangkah kaku. Maaf namun air matanya tak lagi dapat dibendung. Bibir mungil berusaha keras mengulas senyum.

"Re ini gak seperti yang lo kira."

"Gana tapi gue bener-bener cinta sama lo," sanggah Salsa menarik lengan Gana membuat jarak cowok itu dengan Tere menjauh.

Tere mengangguk paham. Ia menyeka air mata yang terus saja keluar. Sungguh untuk pertama kalianya ia tau apa rasa sakit sebenarnya. Cinta mendatangkan bahagia tapi sadarlah jika bahagia selalu bersandingan dengan kekecewaan.

"Kakak boleh pergi aku gak melarang. Kakak boleh menjauh aku gak mencegah. Kakak boleh berhenti aku persilakan."

Mata Tere memejam sejenak. Tangannya mengepal kuat. Ia mendongak memberanikan kembali menatap mata Gana.

"Kita putus."

Patah. Hati ini benar-benar sudah dipatahkan.

"Aku minta kakak jangan pernah datang lagi di kehidupan aku. Bahagia ya," tutur Tere lantas langsung pergi.

"TERE!"

Suara Gana menggema di seluruh koridor. Tere semakin mempercepat lari. Ia sudah mengakhiri apa yang seharusnya tidak pernah ada. Seharusnya ia memang tidak ada di antara Gana dan Salsa. Buat apa? Hanya benalu. Tarikan tangan seseorang membuat Tere mau tidak mau kembali menatap dia.

"Tere dengerin penjelasan gue."

"Diem! Cukup kakak bohongin diri kakak sendiri Dan berhenti bikin hati yang lain patah!" potong Tere mendorong tubuh Gana menjauh.

"Lupain semua! Anggep kita gak pernah kenal! Itu kan yang kamu harapkan?" Tere membuang muka, muak.

Ia memilih pergi.

***

"Tere kok belum makan nak?" suara membuyarkan lamunan Tere. Sejak pulang sekolah sampai petang ia hanya berdiam diri di kamar. Bahkan ia belum sempat berganti seragam. Tere masih berusaha mencerna dan menengangkan diri sendiri jika ia akan lebih baik tanpa Gana.

Fatimah mengusap kepala Tere.

"Ada Raka di luar. Mau nemuin enggak?"

Tere menoleh.

"Ngapain bun?"

Fatimah hanya tersenyum dan menggedikan bahu.

"Ada perlu sama Tere mungkin?"

"Oh, hm iya abis ini Tere keluar ya, Bun."

Fatimah keluar dari kamar membuat napas Tere terembus panjang. Ia tidak berniat menemui siapapun namun ia juga terlalu tidak enak hati jika tidak menemui Raka. Tere berganti kaos dan celana panjang berbahan kaos, rambutnya diikat sembarangan. Wajanya petang ini terlihat benar-benar tidak bersemangat dan pucat.

Ia menunuri tangga dan menemukan Raka langsung menyambut dengan senyum.

"Suntuk banget Re."

Tere hanya berdehem dan duduk di sofa depan Raka.

"Biasa kak lag imager. Ya gimana kaum rebahan mah gini," jawabnya memaksa membuat lelucon.

"Mau kembaliin buku tugas lo yang dipinjem Anaya."

Tere menaikkan alis. Ia tau buku tugas itu memang dibawa Anaya karena Tere sudah selesai.

"Emang aku kasih Anaya kak Raka."

Mendengar jawaban Tere sontak Raka memaksa untuk segera memutar otak. Karena memang tujuannya ke sini untuk mengetahui keadaan Tere setalah Anaya bercertita kejadian di sekolah.

"Masa? Anaya bohongin gue berarti?" Raka malah berbalik tanya.

Tere tersenyum kecil, " aku gak tau kak Raka. Kok malah tanya ke Tere sih."

Raka hanya mengenyir kuda seraya menggaruk tengku yang tidak gatal.

"Ya udah terlanjur juga."

"Lo gak ada kerjaan Re?"

"Gak ada."

"Ajarin gue panah kali."

"Boleh."

"YES!" girang Raka kelepasan. Tere melihat tingkah Raka yang menurutnya jarak dilihat, ya jauh dari kata tenang, disiplin dan pastinya pendiam. Tere mengajak Raka ke halaman belakang, tempat dia dan ayahnya latihan panah.

"Keren banget Re!"

"Kata Anaya lo bisa panah sejak kecil ya?"

Tere mengambil anak panah kesayangannya.

"Iya kak. Ayah yang ajarin," ucapnya setelah anak panah meluncur tepat melandas pas sasaran membuat Raka melongo.

"Lo bisa kuat layaknya anak panah," tutur Raka menatap Tere, begitu sendu. Sosok dewasa dan pengayom begitu terlihat pada sosok Raka.

Hati Tere seakan tersengat, ia terdiam.

"Cowok masih banyak Tere. Gue contohnya," kekeh Raka membuat Tere sontak tertawa.

"Apaan sih!"

Setiap ada api pasti ada air.

Setiap ada hujan pasti ada pelangi.

Setiap ada petir pasti ada senja.

Mustahil ya?

Semua akan terjadi dua sisi berbeda akan menjadi satu jika saling menghargai suatu proses dan peka.








Haloo :)

Sedikit mengobati kerinduan kalian sama Tere nih.

Tim Tere Raka ada gak nih?

Cerita Perfect Is Love ada yang nunggu gak sih? :")

Next?

SPAM KOMEN DULU DONG hehe :D

Instagram = @dianyustyaningsih

Tertanda,

Dian Yustyaningsih.

STAY TUNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang