"Oke lo udah masuk dalam kehidupan pikiran gue."
Hari ini adalah hari yang paling di tunggu-tunggu sekaligus hari yang paling dihindari Tere. Tepat lima menit lagi hasil latihan Tere akan dipertanyakan. Rasanya jantung Tere sejak kemarin malam tidak berhenti berulah. Tangannya dingin menahan gugup. Bibir Tere bergumam memanjatkan doa. Matanya tidak berhenti bergerak saat nama-nama murid di atasnya sudah dipanggil. Kaki Tere gemetar, ia takut gagal. Ia takut usahanya hanya sia-sia. Anaya selalu menepuk bahu Tere agar tenang. Sesekali Tere menghela napas panjang berharap gugup ini sedikit hilang."Tere Felisia Agnibrata."
Ia maju ke depan. Ia memejamkan mata sejenak.
"Hasil gak akan pernah menghianati hasil."
Ucapan Gana tempo hari melayang begitu saja di pikiran Tere.
Prit!
Tere mulai menggiring bola mendekati ring. Ia memasukan semua trik yang sudah Gana ajarkan. Perhitungan, kekuatan dan percaya.
Shoot!
Senyuman menggembang saat satu lemparan pertama masuk. Keberhasilan ini membuat tingkat percaya Tere meningkat. Ia terus memasukkan bola ke ring sebanyak yang ia bisa. Tere tidak patah semangat saat banyak bola yang mental. Ia mulai cemas, cemas dengan waktu. Pak Tomi sudah melirik stopwatch itu artinya waktu hanya tinggal setengah menit. Tangan Tere gemetar, wajahnya pias, ia memilin bibirnya. Cemas.
"Gue percaya kalo lo bisa radio rusak!"
Suara seseorang menggelegar membuat semua pandangan menoleh. Senyuman Tere mengembang sempurna ketika matanya melihat sosok cowok dengan seragam acak-acakan tersenyum di tepi lapangan. Ah, siapa yang tidak meleleh jika dipandang seperti itu.
"Re lo pasti bisa," gumam Tere memberi semangat pada diri sendiri.
Lemparan demi lemparan, lari mengejar bola, perhitungan, kepercayaan.
Prit!
Peluit berbunyi tanda Tere harus menghentikan permainan. Ia menatap pak Tomi dengan cemas.
"Selamat nilai kamu A."
Tere menatap tidak percaya.
"Apa pak?"
Pak Tomi mengacungkan jempol pertanda tes berhasil. Dunia serasa tengah memeluk. Langit seolah ikut tersenyum. Ia berlari memeluk Anaya. Bahagia itu sederhana. Bola basket telah memberi cerita tersendiri. Ring telah memberi kepercayaan tersendiri. Memang benar kata Gana usaha tidak pernah menghianati hasil.
"Selamat Re!"
"Makasih Na!"
Seharian ini senyum Tere tidak pudar sedetik pun. Rasanya mengalahkan kelemahan itu sangat luar biasa. Terlalu sulit jika harus dideskripsikan lewat kata. Apalagi saat ia mengingat bagaimana Gana tersenyum ingin sekali Tere guling-guling di kelas. Setelah bel pulang Tere segera keluar kelas bahkan ia tidak menjawab saat Anaya bertanya mengapa ia buru-buru. Tere ingin berterimakasih pada sosok yang ada di ujung sana. Seperti biasa Tere tidak bisa berjalan cepat ia selalu memilih berlari. Napas yang memburu tidak melunturkan senyum.
Kini ia telah sampai di tempat biasa. Tempat di mana kisah bola dan ring diciptakan. Di sana berdiri sosok cowok yang bermain basket. Ia menarik napas sebelum kembali berlari menghampiri. Dua es krim rasa cokelat sudah tergenggam di tangan.
"Kak Gana!"
Dia menoleh lantas tersenyum tipis.
"Makasih kakak udah ajarin aku basket. Tanpa kakak aku gak yakin bisa ngalahin bola sama ring."
Gana melempar bola ke ring.
"Semua itu berkat usaha lo."
"Es krim?" tawar Tere mengulurkan es krim. Ia tidak yakin Gana akan menerima. Paling-paling Gana menepis atau paling tidak berpura-pura menyenggol hingga jatuh. Ah, drama.
"Buat?" Gana malah balik bertanya dengan satu alis naik.
"Tanda terima kasih," jawab Tere polos.
"Murah banget ya gue. Gue belain ngajarin lo dan balesan lo cuma es krim," cibir Gana mengulas senyuman remeh seraya mengambil uluran es krim Tere.
"Terus kakak maunya apa?"
Gana maju selangkah menjauhi Tere. Dia diam cukup lama. Cowok itu membalikkan tubuh menatap mata Tere hingga menelusup mendobrak bilik mata itu. Sedangkan yang ditatap langsung diam membeku di tempat.
"Hati gue kosong." Ia mengulas senyum. Satu senyuman paling mematikan. Jantung Tere jadi dag dig dug sendiri.
"Kayaknya perlu di isi," jeda Gana.
"Sama cinta."
Deg!
Ia terpaku di tempat. Mulutnya yang seharusnya tertutup setelah menjilat es krim malah terus terbuka sampai-sampai ia tidak sadar es krim keluar dari mulut Tere.
"Ngiler es krim lo," cibir Gana
Buru-buru Tere mengelap lumeran es krim. Ia mengerjap berkali-kali. Tere merutukki dirinya sendiri mengapa ia sudah memancing kalimat menyeramkan seperti itu. Ia menghela napas panjang kemudian menancapkan sugesti jika Gana hanya bercanda.
"Apaan sih kak!" ketus Tere menabok lengan Gana.
Hubungan mereka tidak sedatar dulu. Hubungan mereka tidak sedingin dulu. Hubungan mereka tidak semenjengkelkan dulu. Duduk di tepi lapangan seraya mengahabiskan es krim nyatanya mampu membuat dia kembali dapat merasakan cinta bahkan rasa aneh ini lebih aneh berkali-kali lipat dibanding dulu bersama Salsa. Gana melirik Tere yang terus mengoceh tidak jelas. Terkadang Gana berpikir bagaimana bisa cewek itu berbicara tanpa jeda lantas apakah setiap hari Tere meminum suplemen penambah kosa kata? Entahlah. Intinya Tere berhasil membuat pikiran Gana jadi gila. Gila karena setiap detik ia selalu terbayang wajah Tere, gila saat dia tiba-tiba berhalusinasi tentang keberadaan Tere, gila sudah memikirkan bagaimana agar dia tetap bisa mendengar celotehan receh itu.
"Lo mau ikut gue gak?"
Tere menoleh. "Kemana?"
"Suatu tempat," putus Gana beranjak pergi begitu saja membuat Tere buru-buru mengemasi sampah es krim dan makanan ringan.
"KAK TUNGGUIN DONG!"
Haloo :)
Duh kemana ya mereka?
Tim Gana mana suaranya???
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
STAY TUNE
Teen Fiction"Kenalin nama aku Tere Felecia Agnibrata. Umur 16 tahun. Tinggi 159, 4 cm. Berat 49 kg. IPA 5." Gana mengernyit, dibuat semakin tidak mengerti sebenarnya siapa cewek yang ada dihadapannya yang mengoceh seenak jidat. "Aku suka makan cokelat sama jus...