BAB 43

2.6K 325 56
                                    

"Karena yang namanya bangkai akan selalu tercium baunya, sama dengan luka."

"Anaya! Raka!" teriak Fatimah ketika Anaya dan Raka sudah masuk ke kamar Tere.

Langkah Anaya dan Raka seolah melemas. Mata mereka menatap pada satu orang. Dada terasa sesak. Bibir mereka bahkan kelu untuk berucap. Otak tak lagi dapat berpikir. Anaya berkali-kali mengerjap berharap apa yang dilihat hanya halusinasi.

Sial, semua ini masih sama. Kaki Anaya memaksa melangkah maju mengikis jarak dengan si penatap. Mata mereka saling bicara 'mengapa semua ini terjadi'. Tangan Anaya gemetar ketika mengulur menyentuh kening sahabatnya.

"Apa kabar Na?"

Suaranya bergetar lirih. Bibir pucatnya mencoba mengulas senyum menenangkan. Setetes air mata lolos dari mata Anaya. Sedangkan Raka tengah kaku menyender di tembok. Cowok itu terlalu lemah melihat kondisi Tere saat ini.

"Tere lo kenapa?"

Selang infus dan beberapa selang lain menempel di tubuh Tere. Wajah Tere pucat bahkan sangat. Tubuhnya tergeletak lemah di atas kasur. Beberapa alat medis berada di samping tempat tidur. Rambut tebal idola Anaya kini menipis.

"Re lo kenapa?" tanya Anaya lagi mengurai air mata.

"Gue gak papa Anaya. Lo kenapa nangis sih? Ntar kak Agra jewer lo loh," ulasnya membuat Anaya semakin terisak.

Satu tepukan melandas di pundak Anaya membuat cewek berseragam SMA itu menoleh. Fatimah mengangguk memberi tanda agar Anaya ikut dengan dirinya. Merasa paham ia mengekori Fatimah meninggalkan Raka dan Tere di sana.

"Kak Raka apa kabar?"

Hati siapa yang tidak tersayat ditanya seperti itu oleh dia yang dicintai.

"Gue ba-baik. Gue sama Anaya kangen sama lo. Kapan-kapan main dong ke rumah," suara Raka bergetar memaksa mengulas senyum. Di luar kamar Fatimah terduduk lemas di lantai, air matanya mengucur begitu saja.

"Tante, Tere kenapa?"

Fatimah masih diam. Dia menunduk dalam-dalam. Terlalu sulit mengatakan semua ini.

"Tan," panggil Anaya lagi.

"Leukimia stadium akhir."

Hancur, kaget, sedih, terpukul semua menjadi satu. Tatapan Anaya langsung kosong tubuhnya lunglai terduduk di lantai. Dadanya semakin sesak mendengar kenyataan tentang sahabatnya. Tangan Anaya mengepal kuat menahan agar ia tidak lepas kendali.

Dia sahabat pertama yang selalu mengulas senyum dan mengajarkan bagaimana membalas keburukan dengan senyum kini berada di ujung maut. Tangisan Anaya semakin pecah. Ia membungkam mulutnya agar Tere tidak mendengar isakan.

Anaya ingat benar ia tidak suka melihat orang khawatir tentang dirinya. Jadi ini alasan kenapa Tere mimisan saat itu? Jadi selama dua minggu Tere berobat? Jadi ini alasan pentingnya jus manggis bagi Tere?

"Na, sini duduk," tutur Tere menyapa ketika Anaya kembali masuk.Ia menyeka air mata yang masih saja lolos.

"Mau makan buah apa? Biar gue kupasin."

Tere menggeleng.

"Temenin gue nge-ghibah aja udah cukup Na," ucapnya terkekeh.

Sesak sesesak-sesaknya. Anaya tidak kuat menahan tangis. Berkali-kali ia membuang muka menghindari tatapan Tere.

"Gue ke luar dulu ya Re," pamit Raka yang tidak kuat terus melihat Tere dalam kondisi ini.

Kamar Tere telah sepi menyisakan mereka dua sahabat. Suara alat penditeksi detak jantung mengisi keheningan. Anaya menatap mata Tere dalam cukup lama. Setetes air mata tak lagi dapat dibendung. Tangis Anaya pecah.

"Kenapa Re? Kenapa lo gak cerita sama gue? Kenapa? Apa gue bukan sahabat lo Re? Apa gue gak pantes buat denger kesedihan lo?" cecar Anaya panjang.

Tidak ada yang tau dada Tere sesak melihat sahabatnya menangis.

"Heh lo kenapa sih? Gue gak papa Na. Gue gak sedih."

Anaya mengangkat pandangan menatap Tere kesal.

"Bohong! Lo bohong Re! Lo sahabat paling jahat di dunia ini! Kenapa lo gak bilang kalo lo sakit?"

"Gue gak sakit. Berhenti buat ngomong kalo gue sakit Na," sanggah Tere mencubit lengan Anaya.

"Berhenti drama Re! Cukup drama lo!" teriak Anaya menatap marah.

Anaya terduduk di lantai, ia mengenggam tangan Tere.

"Apa gue gak pantes dengerin kesedihan sahabat gue Re?" suaranya melirih. Seumu-umur ia belum pernah melihat Anaya selemah ini. Tanpa sadar sudut mata Tere berair.

"Gue gak mau orang tau kesedihan gue Na gue hanya mau mereka lihat senyum gue."

"Bangsat lo Re!" umpat Anaya dengan napas memburu. Mengapa Tere tidak membiarkan Anaya ikut menjadi bagian dari kesedihannya? Anaya hanya ingin membantu Tere meminggul beban ini.

"Dih ngomongnya kok gitu sih Na. Masa di sisa hidup sahabat lo ini lo marah-marah."

Tere mengusap air mata Anaya.

"Jangan nangis nanti bedak lo luntur," ucapnya masih saja bertingkah seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.








Haloo :)

Iya ternyata ini yang Tere sembunyikan :"(

Ia terlalu pura-pura baik-baik saja :")

Raka tadi kemana ya?

Lanjut?

SPAM KOMEN DULU DONGG!!! Hehe.

Tertanda,

Dian Yustyaningsih.

STAY TUNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang