"Mengapa mereka melakukan hal keji seperti ini? Apa mereka tidak malu?"
Sudah tiga hari ini ia selalu ke taman dekat sekolah untuk berlatih basket. Ia kapok berlatih di sekolah. Takut digoda oleh kakak kelas tim basket sekolah. Sudah beberapa hari ini pula ia sering pulang terlambat dengan alasan belajar kelompok. Astaga dosa sekali Tere.
Jarak taman dari sekolah lumayan dekat hanya butuh waktu sepuluh menit. Taman ini berbeda. Tempat ini selalu ramai namun saat sore seperti ini pengunjung berangsur sepi. Inilah yang menjadi alasan mengapa Tere lebih memilih taman ini dibanding lainnya. Ia bisa berlatih tanpa harus dilihat oleh banyak orang. Entah mengapa rasanya risih saja. Hari sebelumnya Tere sudah berhasil memasukkan dua bola dalam waktu lima belas menit kali ini ia harus menantang dirinya lagi.
"Oke Tere hari ini lo harus bisa lima bola," tutur Tere menyemangati dirinya sendiri.
Tere mulai berlatih memasukan bola ke ring. Bukan hal mudah bagi orang yang tidak bisa bermain basket. Mungkin orang lain akan bilang 'Gitu aja gak bisa.' Tetapi kemampuan setiap orang berbeda toh juga tidak ada salahnya jika melihat dulu sebelum berkomentar. Napas gadis itu memburu saat mengejar bola yang terpental mengenai ring. Keringat Tere membasahi kening. Ia tidak peduli jika setelah ini ia akan tepar di rumah. Ia hanya ingin menantang kelemahan pada dirinya.
"Oke Tere tinggal satu masukan lagi setelah itu lo bisa pulang."
Tere bersiap melempar bola ke lima setelah hampir setengah jam. Ia memfokuskan pandangan memperhitungkan jarak dan kekuatan yang dibutuhkan.
Shoot!
"Waa! MASUK! GILA-GILA AKHIRNYA MASUK!" girang Tere jingkrak-jingkrak sendiri.
Sebegitu senangnya Tere hanya demi hal sesederhana itu. Memang benar kata pepatah bahagia itu sederhana. Bahagia bisa datang dari apa saja termasuk bola basket. Bukan pulang sesuai janji Tere malah ketagihan untu terus berlatih. Ia yakin sebentar lagi setidaknya ia bisa memasukkan sepuluh bola dalam dua menit sesuai tes basket dari pak Tomi. Semangat Tere seolah tersulut begitu saja. Ia sudah tidak peduli jika senja sudah meninggalkan langit. Pantulan basket dan suara lemparan bola mengisi heningnya taman ini.
Alunan lagu Perfect dari Ed Sheeran mengalun begitu saja membuat Tere mengurung niat melempar bola.
"Lo masih latihan basket?" tanya Anaya to the point.
Dahi Tere mengernyit.
"Iya Na. Kok lo tau sih? Dih jadi dukun lo sekarang," jawabnya terkekeh ringan.
"Gue gak lagi bercanda ya!"
Suara Anaya di seberang sana berubah naik.
"Kenapa sih emang?"
"Bunda lo telfon gue Re. Astaga lo bikin gue bohong."
Jantung Tere seolah berdesir. Ia melirik langit yang ternyata sudah gelap. Jam pun sudah menunjukkan pukul 18.46. ia mengeplak jidatnya sendiri. Bagaimana ia bisa lupa waktu seperti ini. Tere yakin Fatimah dan Adam sedang cemas di rumah.
"Bunda telfon lo?"
"Iya. Sekarang lo mending pulang bunda lo khawatir Re."
Tere segera mamatikan sambungan telepon. Ia tidak mau membuat orang lain khawatir karena dirinya. Tere segera mengembalikan bola pada keranjang tepi lapangan lantas berlari keluar taman. Ia menyusuri taman yang hanya disinari beberapa lampu temaram. Jika melihat suasana taman ini mengingatkan Tere akan kejadian naas saat kemah. Hal mengerikan yang Tere tidak mau ingat sedetik pun. Ia segera berlari lebih cepat hingga napas Tere ngos-ngosan saat sudah berada di tepi jalan raya. Mata Tere menengok kanan kiri, sepi.
KAMU SEDANG MEMBACA
STAY TUNE
Teen Fiction"Kenalin nama aku Tere Felecia Agnibrata. Umur 16 tahun. Tinggi 159, 4 cm. Berat 49 kg. IPA 5." Gana mengernyit, dibuat semakin tidak mengerti sebenarnya siapa cewek yang ada dihadapannya yang mengoceh seenak jidat. "Aku suka makan cokelat sama jus...