"Gana?"
Gana membuka kaca helm full face, memperlihatkan mata indahnya saja pada pak Dadang satpam Universitas Jayabaya.
"Apa pak?"
"Tumben kamu gak telat," tuturnya terdengar menyindir.
"Telat salah gak telat juga masih salah?"
Setelah mengatakan hal itu Gana langsung mengegas motor memasuki halaman parkir. Pasti saja suara motor Gana membuat bising. Namun suara bising itulah yang menjadi ciri khas jika Gana sudah datang. Kebanyakan kaum wanita malah menunggu suara bising knalpot Gana.
"Heh itu baju dikancingin Gana!" teriak pak Dadang membulatkan mata.
Gana hanya melirik sinis, dia memakai baju yang cukup sopan. Kaus putih dengan kemeja yang tidak dikancingkan.
"Bukan anak SMA kali pak."
Sedangkan Gana kini sudah sampai di parkiran sekolah. Ia melepas helm full face, sedikit mengacak rambut depannya.
"Wah ganteng gila!"
Gana melirik kanan. Pemandangan yang selalu terjadi setiap ia datang. Ada Mahasiswi yang mengintip dari jendela kelas. Menatap Gana dengan tatapan aneh. Ia tidak mengambil pusing sikap cuek Ganalah yang digunakan menanggapi kaum hawa itu. Ia berjalan menuju koridor.
Bruk!
"Aduh sakit," sungut seseorang yang baru saja menabrak Gana. Bukan Gana yang mental malah cewek dengan kuncir kuda itu yang kini tersungkur di lantai. Gana melirik bawah mendadak dahinya mengernyit. Ia tau siapa yang baru saja menabraknya. Cewek yang harus ia hindari. Buru-buru Gana berjalan cepat.
"Kak Gana!"
Ah sial!
Berhenti atau tetap berjalan pasti Tere akan tetap menghampirinya.
"Pagi kak," sapa Tere mengulas senyum.
"Kemarin gimana? Bolunya enak? Enak dong, iya dong," cerocos Tere menaik turunkan alis.
Boro-boro mencoba rasa bolu itu. Melihatnya saja tidak. Bagaimana tidak, Liana dan Galih sudah lebih dulu menghabiskan bolu buatan Fatimah. Katanya sih enak. Tapi entahlah Gana tidak peduli juga.
"Minggir lo."
Tere menggeleng.
"Ikut dong," rengeknya memasang wajah manja.
"Masuk kelas sana," ketus Gana menatap dengan tidak suka.
Bibir Tere mengerucut. Ia baru ingat jika lari-lariannya barusan hingga menabrak Gana adalah gara-gara dia sudah telat. Ah, padahal bertemu pagi-pagi dengan Gana adalah hal yang jarang terjadi. Setelah diam cukup lama akhirnya Tere mengagguk.
"Nanti ke kantin bareng yuk kak aku cuma ada dua mata kuliah," ucapnya semangat.
Tere menengok kanan dan kiri. Ternyata ia berbicara sendiri Gana sudah berjalan jauh. Tere menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Beberapa detik lalu Gana berhasil membuat Tere seperti orang gila. Tere sudah lupa jika dirinya sedang di ujung waktu. Mata cewek itu masih sibuk mengikuti punggung Gana yang semakin menjauh hingga hilang melewati belokan. Ia kembali berlari jangan sampai Tere mendapat omelan dosen. Kelas Tere hari ini berada di lantai satu koridor J . Kelas dengan cat putih menyambut. Hal yang membuat Tere tersenyum kecut pun ikut menyambut. Di sana ada Clara, Alice dan Emely. Mereka sibuk berdandan.
"Heh! Lo! Gara-gara lo ya kita jadi kehilangan tas mahal," ketus Alice kini sudah berada di hadapan Tere.
"Gara-gara lo juga kita dihukum," tambah Emely berkacak pinggang.
"Gue minta maaf ya."
Alica berdecak.
"Apa? Maaf? Lo pikir maaf lo bisa hapusin rasa malu kita hah?" ucap Alice tepat di depan wajah Tere.
Hari ini seolah hari yang ditunggu-tunggu oleh Alice. Ia sudah tidak sabar untuk membalas dendam. Wajah Alice begitu terlihat menyeramkan. Ia mendorong tubuh Tere hingga menghantam tembok. Alice mengunci posisi Tere. Alis Alice naik sebelah, tangannya bergerak membawa lipstik merah. Mata Tere membulat, ia seolah tau apa yang akan dilakukan Alice selanjutnya.
"Lic jangan Lic," mohon Tere.
Disisi lain Clara yang diam memantau hanya tersenyum tipiss. Lipstik merah merona itu sudah mendekati bibir Tere. Jantung Tere berdetak kencang. Ia mecoba melawan namun sia-sia karena kedua tangan Tere sudah dicekal oleh Emely.
"Ada apa ini?"
Suara menggelengar begitu saja memenuhi ruang kelas. Alice dan Emely segera melepaskan Tere. Mereka menoleh pada sumber suara. Di ambang pintung berdiri cowok bernama Raka. Tidak dipungkiri setiap pagi Raka memang selalu mengecek kelas pagi. Bodoh sekali Alice melupakan hal sepenting ini. Hampir saja Alice ketahuan dan hampir saja wajah Tere seketika diubah menjadi badut Ancol.
"Ga-gak ada apa-apa kok kak," ucap Alice sedikit gugup.
Raka yang merasa ada yang tidak beres mendekati Tere.
"Benar Tere?"
Tere masih diam. Dia masih mencoba menyetabilkan detak jantung yang tidak karuan. Ia melihat tatapan mengintimidasi dari Alice. Tere mencoba mengulas senyum lantas mengangguk pelan. Melihat hal ini Raka bisa bernapas lega. Merasa aman Raka lantas meninggalkan kelas.
"Re lo udah masuk?" tanya seseorang yang baru datang.
"Aduh hampir gue telat," keluh Anaya ngos-ngosan.
"Udah dong kan anak teknik gak boleh sakit lama hehe."
"Karena Gana yang kemarin ke rumah lo?" tanyanya lagi dengan satu alis dinaikkan.
Tere mengangguk cepat. Dia meremas lengan Anaya dengan gemas.
"Manis banget gak sih kalo dia bilang mau jenguk gue Na. Sumpah ya saat itu juga panas gue langsung ilang," ingatnya membayangkan kembali saat-saat Gana di rumah Tere.
"Udah jangan kebanyakan ngehalu. Bangun yuk bangun,"
Sontak saja tanggapan Anaya membuat wajah Tere seketika ditekuk.
"ANAYA! Gue gak halu dia bener-bener jenguk gue Na," sunggutnya kesal.
"Iya deh iya serah lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
STAY TUNE
Teen Fiction"Kenalin nama aku Tere Felecia Agnibrata. Umur 16 tahun. Tinggi 159, 4 cm. Berat 49 kg. IPA 5." Gana mengernyit, dibuat semakin tidak mengerti sebenarnya siapa cewek yang ada dihadapannya yang mengoceh seenak jidat. "Aku suka makan cokelat sama jus...