BAB 17

4.8K 458 6
                                    

"Masalah itu diselesaikan bukan sekedar direnungkan."

Laju taksi berhenti di depan gerbang megah berwarna hitam. Anaya yang sejak tadi mengomel tentang Agra harus berhenti sejenak. Saat pertama kali keluar dari taksi udara segar berembus menerpa. Bau tanah basah khas hujan beberapa menit lalu menyerbak. Entah mengapa ini memberi ketenangan tersendiri. Tetesan bulir air jatuh begitu saja dari pahon di tepi jalan. Anaya berjalan di depan Tere memasuki rumah megah itu.

"Bibi," panggil Anaya.

Tak berselang lama perempuan paruh baya keluar dari dapur dengan celemek masih dikenakan.

"Iya non," ucapnya dengan suara agak serak.

"Kenalin ini Tere sahabat Anaya," ujar Anaya seraya menunjuk pada arah Tere.

Tere mengulas senyum lantas mencium punggung tangan Ijah, asisten rumah tangga Anaya.

"Eh jangan non," tahan bi Ijah menahan tangan Tere untuk menyentuhnya. Sontak saja alis Tere menaut tidak mengerti.

"Bibi baru ngupas bawang nanti non Tere kepedesan," lanjut bi Ijah.

Ada kelegaan yang Tere rasakan. Padahal ia sudah mengira jika bi Ijah jijik melihat Tere karena habis dari luar. Ternyata tidak.

"Gak papa bi," sahut Tere tetap mencium punggung tangan bi Ijah.

Begitulah Tere, ia harus menghormati siapapun baik yang lebih tua atau lebih muda sekalipun. Kesopanan adalah pencerminan diri, begitulah pikir Tere.

"Mau bibi buatin apa non?"

"Gak usah aja bi nanti kita mau masak di dapur kok," jawab Anaya seraya menenteng belanjaan yang mereka beli di swalayan tadi. Beberapa rencana memang sudah mereka rancang salah satunya adalah memasak. Ini tidak pasti berhasil membujuk Raka tetapi tidak ada salahnya mencoba. Setelah menyerahkan barang belanjaan pada bi Ijah Anaya mengajak Tere untuk ke kamarnya. Nuansa putih dengan coretan abstrak hitam menjadikan mata siapapun akan berdecak kagum.

"Sumpah gue kesel sama kak Agra!" erang Anaya melempar tas ke sembarang arah membuat isinya berserakan di ubin.

"Awas aja kalo ketemu bakal gue tonjok mulutnya!" umpat Anaya lagi semakin berapi-api.

Suasana hening hanya diisi oleh suara Anaya. Sedangkan Tere cewek itu memilih merebahkan tubuh di sofa berwarna jingga di dekat meja belajar. Mata Tere terpejam sesaat. Memorinya kembali mengulang kejadian tadi pagi. Ia menggigit bibirnya sendiri. Malu! Kenapa Tere harus menuduh Raka seperti itu. Bagaimana mungkin cowok sebaik Raka bisa menjadi selingkuhan. Ah! Bodoh sekali Tere.

Bruk!

"Aduh!" ringis Tere memegangi jidat. Pasalnya satu detik yang lalu sebuah buku melayang tepat mengenai jidat. Ia langsung menegakkan tubuh. Tangannya masih mengusap-usap jidat yang langsung berdenyut.

"Sableng lo! Sakit tau," omel Tere.

"Ya sori Re. Salah lo sendiri ngapain bengong," sunggut Anaya malah membuka ponsel.

Tere mengeplak jidatnya sendiri. Ia berdiri lantas mendekati Anaya yang duduk di sofa.

"Na," panggil Tere menyenggoli lengan Anaya. Sedangkan yang dipanggil malah menyibukkan diri bermain mobile legends. Apakah permainan itu begitu memberi candu bagi penggunanya?

"Anaya!" panggil Tere lebih keras.

Anaya menoleh malas.

"Apaan?"

"Katanya lo mau bantuin gue minta maaf ke kak Raka," tutur Tere mengerucutkan bibir. Kesal saja jika janji itu ternyata Anaya lupakan. Seolah Anaya baru mengingat ia langsung membalikkan diri menghadap Tere. Ia terkekeh seraya menggaruk tengku yang tidak gatal.

STAY TUNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang