"Demi ini aku harus mengulas kebohongan."
Hari Senin seolah menjadi hantu di tujuh hari dalam seminggu. Hari Senin menjadi hari yang paling dihindari oleh semua pelajar mungkin bahkan seluruh pelajar di dunia ini. Hari Senin identik dengan upacara bendera dan apalagi ditambah tugas yang bejibun. Jika hari Senin bisa dihapuskan mungkin hal itu sudah dilakukan sejak dulu.
Seperti saat ini yang dilakukan setiap Senin pagi di SMA Cakrawala. Semua murid berbaris rapi mengikuti rangkaian upacara. Berpanas-panasan di pagi hari pasti saja membuat sebagian murid merasa malas dan malah memilih dihukum. Namun jangan pikir ringan hukuman jika tidak mengikuti upacara bendera di SMA Cakrawala. Kejutan mengepel selama seminggu siap menanti bagi penantang. Terik matahari pagi ini cukup menyengat membuat peserta upacara mengibas-kibaska tangan untuk memberi efek segar.
"Habis ini ke kantin yuk Re," bisik Anaya yang berada di samping Tere.
"Siap."
Pembacaan doa selalu yang ditunggu-tunggu saat upacara. Ini artinya upacara akan selesai dan mereka bisa merenggangkan otot-otot kaki yang sudah kaku.
"Tegak grak!"
Akhirnya.
Semua berhamburan meninggalkan barisan. Sepertinya topi adalah atribut pertama yang harus hengkang dari tempatnya. Saat suasana panas seperti ini topi beralih fungsi menjadi kipas. Ketika Tere berjalan menuju kantin tanpa sadar matanya melirik ke arah barisan atribut kurang lengkap. Sontak saja langkah Tere langsung berhenti. Ia menyipitkan mata mencoba memfokuskan apa yang ia lihat. Di sana berdiri cowok dengan atribut yang bisa dibilang tidak lengkap sama sekali. Tanpa topi, dasi, ikat pinggang bahkan seragam putih itu dibiarkan keluar.
"Kak Gana?"
Terlihat pak Paijo sedang mengomeli Gana habis-habisan. Memang bukan hal baru pemandangan seperti ini. Hampir setiap Senin kado hukuman selalu Gana terima. Namun kali ini beda Gana yang biasa bertiga kini hanya berdua dengan Agra.
"Yaelah pak iya-iya ntar saya pakek."
"Kamu ini selalu bilang seperti itu tapi tidak pernah kapok," kata pak Paijo terdengar berapi-api.
Jika pak Paijo berapi-api hal berbalik pada Gana. Cowok itu hanya sesekali tersenyum kecut dan menggaruk telinga seakan menandakan ia risih dengan omelan pak Paijo.
"Semua yang atributnya tidak lengkap hormat bendera sampai jam istirahat!" komando pak Paijo.
"Astaga pak bisa luntur bedak saya," sahut Clara yang berada di belakang tidak jauh dari Gana.
"Iya pak. Diskon kek elah," timpal Patricia mengibas-kibaskan tangan.
"Tidak ada bantahan," tegas pak Paijo lantas meninggalkan sisi pinggir lapangan.
Mata Tere yang tadinya terus mengamati mendadak membelalak saat Gana melirik dan mengunci tatapan mereka. Sontak saja Tere langsung menunduk dan berlari mengejar Anaya yang sudah lebih dulu meninggalkannya. Astaga tatapan Gana benar-benar mematikan. Tere jadi takut sendiri melihat mata Gana.
Suasana kantin setelah upacara lebih padat daripada jam istirahat. Kebanyakan mereka mencari minum melepas dahaga.
"Kesambet lo ntar," celetuk Anaya yang baru kembali membeli sebotol mineral dingin.
"Apaan sih lo Na. Mana ada kesambet di kantin yang ada kesambet itu di kuburan."
Anaya mendengus ia tidak berniat berdebat dengan Tere sepagi ini. Siswi berkuncir kuda itu memilih
"Serahmu Re Tere."
Pikiran Tere tidak di sini. Ia baru sadar jika tatapan Gana memberi efek samping. Tere bergidik ngeri saat bagaimana mata itu terlihat seolah ingin membunuh. Namun entah mengapa itu malah membuat Tere semakin menyukai sosok itu. Jika ditanya mengapa Tere sendiri tidak memiliki alasan. Ia hanya menilai jika Gana adalah sosok yang berbeda. Dia memang bebal dan onar namun Tere yakin hati Gana itu sangat baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
STAY TUNE
Teen Fiction"Kenalin nama aku Tere Felecia Agnibrata. Umur 16 tahun. Tinggi 159, 4 cm. Berat 49 kg. IPA 5." Gana mengernyit, dibuat semakin tidak mengerti sebenarnya siapa cewek yang ada dihadapannya yang mengoceh seenak jidat. "Aku suka makan cokelat sama jus...