LI 1 - Bahaya

745 92 1
                                    

[Lir Ilir Dimensi 1]

Mega menelungkupkan kepalanya pada kedua kakinya yang tertekuk. Di belakangnya pohon tinggi besar melindunginya dari teriknya mentari. Ini masih sulit di terima akal sehatnya. Mega yakin tadi dia masih belajar pelajaran Seni Budaya---membatik. Lalu sekarang? Orang waras mana yang akan mempercayai apa yang terjadi padanya?

Mega memejamkan matanya berharap ketika mata itu terbuka ia akan melihat kondisi ruang kelasnya yang berantakan, dengan teman-temannya yang tak bisa diam. Tapi ini bukan mimpi, Mega cukup sadar. Semua yang dilihatnya nyata. Mega bahkan masih merasakan sakit cubitan ditangannya sendiri.

Menghela napas frustasi. Kepalanya ia sandarkan pada batang pohon di belakangnya. Lelah jiwanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada.

Seorang gadis berkebaya yang tak berdaya tersesat sendirian di dalam hutan. Kurang ngenes bagaimana lagi nasibnya kini?

Tenggorokannya terasa kering. Ia bangkit dengan langkah tertatih. Semangatnya untuk menemukan jalan keluar telah surut setelah berjalan sampai kulit kakinya terasa melepuh. Tapi, Mega tak ingin mati konyol karena kehausan sehingga memaksakan kakinya yang letih untuk menjajaki hutan, dengan semak belukar.

Keluar dari daerah yang di tumbuhi semak belukar, yang memikirkannya saja membuat bulu kuduknya berdiri. Didepannya sabana luas terbentang sejauh mata memandang, seolah tak berujung. Tapi bukankah ini lebih bagus? Setidaknya Mega tidak perlu menebak-nebak ada apa dibaliknya.

Langkah kakinya yang tadi terasa berat kini terasa seringan kapas. Tanpa sadar Mega terus berlari dengan senyum mengembang. Demi Rendy Juliansyah yang katanya wajahnya internasional, Mega benar-benar merasa terhipnotis. Selama hidupnya baru kali ini dia berdiri di padang sabana dengan paparan pegunungan yang membuatnya tak henti berdecak kagum.

"Ya ampun, demi apapun ini benar-benar indah." Tangan Mega menjulur kedepan, seolah akan meraih pegunungan di depan matanya.

Mega baru mengetahui jika ada tempat seasri ini atau malah belantara. Mega berbaring di atas rumput pendek, matanya menghadap langit dengan mentari yang mulai kembali keperaduan. Burung-burung yang kembali kesarang berterbangan di atasnya.

Rasa hausnya hilang karena keindahan yang tak bisa di tolaknya. Mega berjengkit dari berbaringnya. Langit mulai menggelap. Suara binatang buas terdengar bersahutan. Debur ombak yang sempat dihiraukannya terdengar berdentum beradu dengan batu karang. Gerakan samar dari arah depannya membuat dirinya langsung siaga. Terdengar berbisik, mendayu, namun penuh ancaman. Ketika sang penguasa mulai menampakan taringnya Mega langsung berbalik badan berlari sekuat tenaganya.

"TOLONGGG!!!TOLONGG!" Langkahnya cepat, di belakangnya binatang berbaju loreng berlari mengejarnya dengan menampakan taring dan mata tajam mengintimidasi.

Selama enam belas tahun hidupnya, Mega tidak penah berpikir jika hidupnya akan berakhir seperti ini. Mungkinkah dia akan mati di terka binatang buas. Tidak. Mega tidak bisa membiarkannya. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Didepannya jurang. Saat ini dia berada diatas teping yang dibawahnya adalah laut dengan debur ombak kencang yang tadi sempat didengarnya. Dan yang paling membuatnya ngeri adalah batu karang yang tampak tajam memenuhi seisi pantai.

Mega membalikan badannya. Memandang dengan gemetar hewan yang berjalan mengintainya. Langahnya semakin mundur dengan sesekali memelirik kebelakang, berharap pijakannya masih luas.

"TOLONG!" Kedua tangan mega terulur kedepan, berharap harimau itu mengerti dan akan berhenti. "Jangan makan aku. Tubuhku tidak akan membuatmu kenyang." Mega berucap dengan nada gemetar dan wajah serius yang dibalas aungan kencang membuatnya terkejut.
"Akhhhh!" Mega menjerit mencoba meraih apapun didekatnya. Dia tidak boleh jatuh, atau nyawanya akan langsung berakhir.

***

Dayeuhluhur, 17 Oktober 2018

Biru
My feel so bad

Lir Ilir (Dimensi 1 dan 2, Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang