Li. 23 - Test Pack

58 14 0
                                    

Mega merasa selepas sholat sikap orang tuanya terasa berbeda, pun keadaan meja makan saat ini pun terasa mencekam. Jadi gadis itu memutuskan untuk kembali ke kamar setelah mencuci semua piring kotor.

“Mega, sini sebentar,” niatnya urung saat sang Mama memintanya untuk duduk di sampingnya.

“Kenapa, Ma?” Gadis itu menatap dengan cemas, bagaimana tidak gelisah dari tadi ibunyalah yang bersikap ketus padanya. Sampainya membuat Mega berfikir bahwa Mama sedang kedatangan tamu bulanan.

Papa yang duduk di sopa sebelah meletakan alat pengecek kehamilan ke atas meja, dengan wajah yang terlihat kesal. “Bisa jelaskan kenapa di tas kamu ada test pack?”

Mega menatap wajah Papa dan Mamanya bergantian dengan tangan yang saling memilin dengan cemas. Aduh bilang apa coba? Masa bilang, tiba-tiba ada gitu atau Mega gak tahu, ya kali tuh alat masuk sendiri ke kantung. Kalau diem nanti dikira itu punya Mega, bilang punya teman juga sama aja nyebar aib orang, kan? Belum yakin juga Rena hamil, nanti jadi fitnah.

Mata Mega berkaca-kaca, dia benar-benar bingung harus jawab seperti apa. “Jangan diem aja Mega!” Gadis itu sedikit berjengkit saat Mamanya berbicara dengan nada tinggi, matanya menatap sang ayah meminta pertolongan, tapi pria itu hanya memijat pangkal hidungnya, pening dengan kelakukan anaknya, mungkin.

“Mega, Papa gak nuduh kamu ngelakuin hal yang gak seharusnya kamu lakuin. Papa hanya bertanya kenapa ada test pack di dalam tas kamu?”

Itu sama aja. Cuma bahasa Papa diperhalus.

“Mama nemu di tas kamu saat bantu beresin buku kamu.”

Mega menjadi semakin merasa bersalah jadinya. “Test pack itu emang punya Mega.” Jawab Mega dengan yakin.

“Buat apa kamu beli benda seperti ini?” Mama kembali menjerit ditelinga sang anak, kali ini lebih keras.

“Aduh, jangan salah paham dulu. Bukan buat Mega juga, aku cara pakainya aja gak tahu.”

Papa menatap anaknya setelah menghembuskan nafas lega. “Ngomong yang bener Mega, jangan setengah-setengah, Mama kan jadi bingung.”

“Mega gak bisa bilang itu buat siapa, takut jadi fitnah sama gibah.”

Mamanya yang kesal langsung meraba perut anaknya, memastikan bahwa tidak ada yang aneh. “Mama apa sih, perut Mega emang bagus, tapi gak gini.”

“Aman Pa, gak ada tanda-tanda aneh. Mega juga gak mual-mual dan bertingkah layaknya orang hamil.”

Lagi Mega juga baru selesai haid.

***

Malam sehari setelahnya Mega yang tengah mengerjakan soal latihan untuk ujian nasional terganggu dengan notifikasi pesan. Dengan malas gadis itu membukanya siapa tahu penting. Mata membulat dengan terkejut, total mengabaikan soal yang sejak selesai makan malam menyita perhatiannya.

Rena
[online]

|yang lo bilang bener, Meg
|gua positif hamil

|kamu yakin bisa baca alatnya?

|garisnya ada dua
|gua hamil
|gua bingung, gua butuh saran lo, meg

|kenapa? Kalau bisa nanti aku bantu

|gua harus gimana sekarang?
|gua masih remaja tapi udah hamil, sma aja belum lulus
|gua harus bilang apa sama ortu?
|mereka pasti kecewa banget punya anak kaya gua

Mega menggingit kuku jari telunjuknya bingung, ingin lari ke Mama atau Papanya untuk meminta saran, tapi tidak mungkin.

|omongin baik-baik sama ortu kamu, ren
|mau nyembunyiin kaya gimana pun pasti mereka tahu
|kamu juga minta pertangung jawaban sama pacar kamu
|kalian harus mempertangung jawabkan semua
|ortu kamu pasti kecewa, tapi semua udah terlanjurkan
|kamu bisa minta maaf sama ortu kamu, jangan lupa selalu minta pengampunan dosa sama Allah

|gua gak sanggup bilang, meg
|gua malu, gua takut, bener-bener takut
|gua nyerah aja
|makasih lo udah peduli
|maaf ya, kalau gua punya banyak kesalahan sama lo
|lo temen gua yang baik

[online satu menit yang lalu]

|ren
|rena
|jangan lakuin hal bodoh yang cuma nambah dosa
|aku tahu kamu bisa lewati semua
|aku akan bantu sebisaku

***

Dua hari semenjak pengakuan Rena, gadis itu tidak pernah muncul di sekolah mau pun media sosialnya. Mega menjadi sangat bersalah, dia merasa dirinya terlalu lancang. Hari ini Mega kembali masuk ke dalam kelas dengan wajah murung. Duduk di bangkunya dengan kepala yang dia tahu di lipatan tangan.

Gebrakan di meja membuatnya mengangkat kepala dengan terpaksa. Wajah bingungnya begitu kentara saat melihat Denia dan Rita berdiri di depannya dengan penuh amarah. Suasana kelas yang masih sepi karena jam baru menunjukan pukul. 06.05.

“Lo bilang apa aja sama Rena?” Rita bertanya dengan emosi, wajahnya terlihat memerah.

“Lo bilang dia hamil sampai beliin test pack, kan? Kenapa sih lo ikut campur urusan orang, hah?” Denia terlihat mengepal tangannya menahan emosi. “Lo gak tahukan, setelah tahu jika dia hamil, Rena berusaha mengakhiri hidupnya.”

Mata Mega membulat karena terkejut. Rena benar-benar bunuh diri? Rasa bersalahnya semakin menjadi saat Rita memperlihatkan room chat dengan Tante Rena.

“Masih untung tantenya bisa mencegah, kalau gak, lo mau tangung jawab?”

Mega menunduk. Dia tahu dia tidak salah untuk apa yang dialami Rena, dia hanya memberi tahu agar gadis itu sadar akan kesalahannya dan mempertangungjawabkan perbuatannya bukan malah memilih mengakhiri dengan pengecut.

“Lain kali gak usah sotoy dan sok.”

Mereka tidak tahu saja Mega menangis dalam diamnya saat keduanya berlalu. Jangan nangis Mega, masa gitu aja cengeng. Tapi tidak bisa, air matanya semakin banyak keluar, maka gadis itu memutuskan untuk pergi ke toilet dengan kepala tertunduk.

Mega membuka kerudungnya, membasuh wajahnya beberapa kali. “Gak boleh cengeng. Semangat Mega,” ujarnya sembari melihat pantulan bayangannya di kaca. “Tapi kalau Mega gak bilang, Rena pasti gak akan nekat.” Lagi air matanya turun tanpa dia suruh.


***
[1/365]

Hallo, apa kabar?

Selamat tahun baru, semoga semua lekas membaik.

Maaf aku gak up belakangan ini, soalnya lagi fokus sama proposal penelitian hehe.

Tapi tenang, malam ini aku berhasil ngetik nyampe epilog, jadi bakal up sering wkwkwk.

Semoga bisa up tiap hari, ditengah kepuyengan nyelesaikan proposal(:

Biru

Lir Ilir (Dimensi 1 dan 2, Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang