Hari rabu pagi, Mega sudah dibuat badmood oleh tamu bulanan, sedangkan batik identitas sekolah berpasangan dengan rok putih. “Semoga gak tembus,” ujarnya sembari menjarum pentul kerudung.
“Mega ayo sarapan!”
“Iya, Ma.” Setelah mengambil tas di meja, Mega langsung keluar kamar dan menghampiri orang tuannya di meja makan.
“Aduh anak Papa,udah cakep aja, mana wangi lagi.” Mega yang baru duduk di depan Papanya langsung tersenyum lebar. “Jelas dong cakep, anak Bapak Megantara mana ada yang burik.” Gadis itu berkata dengan semangat. “Eh ada, Bang Rury, kan jelek ya, Pa?”
“Iyalah, orang paling ganteng di rumah cuma Papa.”
Wanita yang tengah menuangkan susu itu menghela napas. “Gak boleh gitu, Rury ganteng, abang Mega juga. Jangan menghina ciptaan-Nya itu sama saja dengan menghina-Nya.”
Mega dan Papanya saling pandang. “Maaf Ma, bercanda. Allah tahu bang Rury itu penuh kekurangan,” ujar mereka serentak.
“Astagfirullahaladzim.” Mega dan Papa terkekeh sebelum mulai sarapan setelah berdoa terlebih dahulu.
“Mega, kamu berangkat sama Papa, ya? Motornya mau Mama pakai ke pengajian di desa tetangga.”
Mega meletakan gelas susunya, dengan cepat berdiri dengan sikap hormat. “Laksanakan Ibu Dokter.” Mega meraih tasnya. “Mega berangkat dulu, Ma,” ujarnya sembari mecium punggung tangan ibunya.
“Belajar yang rajin ya, sayang.” Mega mengangguk patuh, dan terkekeh pelan saat ayahnya pamit dengan mencium kening ibunya. “Tolong Mega uwu phobia!”
“Ayo putri cantik Papa.” Papa merangkul putrinya keluar rumah.
“Mega nanti pulangnya, gimana, Pa?” Papa yang sedang mengenakan sealbeat tersenyum samar.
“Tunggu Papa, kan bisa.” Mega berdecak pelan mendengar perkataan ayahnya. Dia pulang sekolah jam empat, Papanya juga sama, tapi tempat kerja Papanya berada di kota. Berarti Mega harus rela menungggu selama 40 menitan.
“Kalau gak mau, Mega tinggal minta anterin pulang sama teman, kan bisa.”
Mendengar kata teman Mega langsung mengalihkan pandangannya keluar jendela, menatap pohon-pohon di pinggir jalan. “Mega mana ada teman kaya gitu, Pa.” Papa menggusak kepalanya yang tertutup kerudung dengan kekehan.“Udah mau tiga tahun sekolah, belum punya teman dekat, ya?” Mega menganguk tanpa ragu.
Papa menghela nafas pelan. “Gak papa gak punya teman dekat, nanti juga Mega punya kalau sudah kuliah.” Mata Mega langsung menatap Papanya dengan berbinar. “Benar, Pa?” Papa mengangguk. “Kebanyakan teman dekat memang kita temukan saat kuliah.”
“Mega jadi pengen cepat-cepat lulus deh, Pa, terus kuliah, pasti seru!” Mega mungkin tak menyadari tatapan sendu ayahnya.
Ayah mana yang tak akan sedih hatinya saat mengetahui bahwa anaknya kesepian karena tidak memiliki teman?
“Nah, udah sampai.” Mobil berhenti di depan sekolah.
“Mega belajar yang rajin ya, biar bisa cepat lulus.” Mega mengangguk antusias.
“Pulangnya tunggu Papa, kalau gak naik ojek aja ya?”
Mega menggeleng dengan tegas. “Mega jalan kaki aja, Pa, tiga puluh menit juga sampai rumah.”
Papa hanya bisa tersenyum saat Mega mencium punggung tangannya, keluar dari mobil, dan masuk ke dalam sekolah. “Kalau abang pulang, Mega juga nanti punya teman bermain lagi.”
***
“Mega, lihat pr matematika, dong.”
Mega baru saja menyimpan sepatunya di rak yang berada di depan kelas, tapi Candra, salah satu teman sekelasnya sudah meminta contekan dari pintu. Gadis itu melangkah ke dalam kelas. “Ambil di bangku, aku mau duduk dulu.” Candra mengikutinya dengan patuh.
“Nih, kamu mau nyontek berapa?”
“Empat, baru ngerjain satu.” Ada cengiran di wajah tampannya. “Satu aja udah buat gua bangga.”
Mega menatap teman-temannya yang sudah berkerumun di meja Candra. Sabar, Mega, Ikhlasin siapa tahu jadi pahala. Memang siapa yang akan merelakan hasil kerja kerasnya dicontek begitu saja? Mega rela bergadang demi menyelesaikan lima soal matematika, sedangkan mereka hanya membutuhkan waktu kurang dari lima belas menit untuk menyalinnya.
Rasti meletakan tasnya di sebelah Mega. “Rok si Ayu gimana? Bisa di bersihin gak?” wajah Mega kembali muram. “Gak bisa.” Rasti menepuk bahunya. “Yang sabar, nanti gua anter ke koperasi.” Mega hanya mengiyakan saja.
Pelajaran berlalu dengan cepat sampai istirahat pertama, Rasti benar-benar mengantar Mega ke koprasi. Mega harus merelakan jatah membeli komiknya untuk mengganti rok Ayu, salahnya sendiri sih. Sampai kelas Mega langsung memberikannya pada Ayu yang diterima gadis itu dengan sedikit ketus. Mega tak masalah yang penting ia telah meminta maaf dan bertangung jawab. Sekarang bagian jam terakhir yaitu pelajaran matematika akan berlangsung.
“Assalamualaikum wr.wb!”
“Waalaikumsalam, Ibu!”
“Aduh wajah kalian kucel banget, sekarang ibu akan menambah kelelahan kalian dengan matematika.”
Mega terkekeh mendengar perkataan Bu. Ririn, guru wanita paru baya yang sangat baik, di mana beliau rela menyambangi satu persatu meja muridnya untuk mengajari.
“Untuk tugas minggu kemarin, silakan lima orang maju tanpa membawa buku.” Siswa yang awalnya bersemangat langsung terdiam saat mendengar kalimat tanpa membawa buku.
“Ayo siapa aja boleh.”
“Saya bu,”
“Silakan Annisa!” Mega menatap Annisa dengan senyuman, dia tidak kaget karena gadis itu selalu meriah juara tiga besar sejak SMP setahunya, mereka pernah satu sekolah dan satu kelas ngomong-ngomong.
“Yang lainnya?”
“Saya, bu!”
“Silakan Rasti, Gita, dan Aziz.”
Aku juga ingin mengerjakan di depan, tapi deg-degan, takut di sangka caper. Mega menekuk wajahnya saat Rasti kembali duduk di sampingnya.
“Satu soal lagi, ayo yang belum.”
“Mega saja, kalau yang lain tidak mau.” Mega berdiri dengan senyum lebarnya, mengabaikan tatapan tak suka dari beberapa anak.
“Mega!” Gadis itu berhenti, menolehkan kepalanya kepada Annisa dengan pelan. “Kenapa, Nisa?”
“Tembus,” ujarnya dengan pelan, namun karena suasana kelas hening semua orang langsung mengalihkan atensi padanya.
Mega langsung melihat kearah rok nya dengan panik. Benar, roknya berubah menjadi bendera Jepang. Dengan kesal Mega kembali kebangkunya. Mega ingin menangis, pasti teman laki-lakinya sudah ada yang melihatnya. Papa, Mega malu banget, pengen pulang.
Akhirnya sampai bel pulang berbunyi Mega menjadi orang terakhir yang keluar kelas, itu pun karena kelasnya di kunci oleh temannya yang mendapat jatah piket.
Rasti dan Lida sudah menyarankan agar rok pada bagian pingang di lipat dan tali tasnya di panjangkan, tapi tak membantu sama sekali, yang bisa Mega lakukan sekarang hanya menunggu Papanya menjemput.
Mega menatap ke lapangan, ekstra bola voli sedang dilaksanakan. Mega duduk di depan kelas dengan di alasi kertas yang ia robek dari kertas surat, mengamati seorang diri. Pengen pinjam ponsel guru tapi malu, masa bilang alasannya tembus? Semoga aja Papa sadar Mega sedang butuh penyelamat.
***
[22 November 2020]Adakah di antara kalian yang sama seperti Mega?
Berusaha up cepet, gak enak sama kalian yang rela nunggu cerita ini dari 2018. Maaf ya:))
Sampai berjumpa di hari rabu, bye bye
I just wanna be happier:)) damagenya kuat banget
Biru
KAMU SEDANG MEMBACA
Lir Ilir (Dimensi 1 dan 2, Selesai)
Teen Fiction[Re-publish] Lir Ilir (Dimensi 1), dimulai dari Prolog - Part 15. Kebencian Mega terhadap Seni Budaya membawanya kembali kemasa lalu. Seorang pemuda misterius yang gagah berani menyelamatkannya dari kejaran hewan buas. Lalu mampukah Mega kembali ke...