Ketika kembali ke kelas, teman-temannya sudah rusuh membicarakan Rena yang melakukan percobaan bunuh diri. Mega tahu, Sebagian besar dari teman sekelasnya menatapnya sinis. Namun, gadis itu masih mencoba sabar dan tegar. Toh, hanya tatapan lagi pula dia sudah terlampau biasa.
“Gak usah dipikirin lo cuma ngasih tahu doang,” ujar Rasti yang sepertinya tak perduli dengan apa yang terjadi dengan Rena.
“Lebay banget mereka bilang lo salah udah ngasih tahu, padahal dianya sendiri yang nyebarin aib temennya.” Lida menimpali tak kalah pedas. “Dia yang hamil, masa lo yang disalahin. Gila kali.”
“Biarin aja.” Mega membuka bukunya dengan santai. Gadis itu lebih memilih untuk tenggelam bersama materi dari pada terus merasa bersalah.
Mata pelajaran kedua hari ini kosong, Mega memutusan untuk pergi ke masjid dan melaksanakan shalat dhuha dua rakaat, dengan harapan gelisahnya akan hilang. Benar saja perasaannya terasa lega, walau harus kembali terluka saat Rita yang berpapasan denganya di pintu masuk kembali berkata dengan pedas. “Sotoy, sok tahu, ikut campur urusan orang, udah ngerasa hidup lo paling bener, ya?”
Mega hanya berlalu dan memakai sepatunya. Yang dia inginkan hanya menghindari mereka. Dia lelah lelah terus disalahkan, padahal bukan semua salahnya. Jika saja Rena tidak melakukan yang melanggar norma, teman-temannya tidak akan menggunjingkannya, dan Mega yang merasa kasihan dan peduli pada temannya tidak akan nekat bertanya. Bahkan setelah tahu kebenarannya, Rena memilih menjadi pengecut dan menjadi pihak yang bersalah.
“Maaf, gua gak merhatiin jalan.” Mega memeng sedikit mundur saat seseorang tak sengaja menabrak bahunya. Kepalanya yang semula menunduk kembali dia angkat, dengan tangan yang sibuk membersihkan sisa air mata di pipinya.
“Gak papa kok, Rifqi, aku juga jalannya gak lihat-lihat.” Senyumnya tertarik dengan paksa membuat orang di depannya meringis dalam hati.
***
Rifqi merasa iba sejak melihat keadaan gadis itu yang tidak terlihat baik-baik saja. Berita itu memang menyebar dengan cepat. Selama jam pelajaran berlangsung dia tidak bisa berfikir dengan baik. Otaknya dipenuhi dengan pertanyaan, apa Mega baik-baik saja? Meraka sudah satu sekolah sejak SMP walau tak pernah sekadar bertukar sapa. Tapi melihat mata terluka gadis itu, Rifqi merasa setidaknya dia harus menghapus sedikit saja bebannya.
Maka ketika jam pulang sekolah, Rifqi dengan cepat melangkahkan kaki ke lantai dua, di mana kelas XII.IPS.3 berada. “Oy, Rif mau kemana?” Tatang salah satu temannya saat di OSIS dulu menyapa.
“Ketetangga kelas lo.”
Rifqi berhenti di depan kelas, menunggu gadis itu dengan sabar karena masih terdapat guru di dalam. Dia fikir gadis itu akan keluar paling akhir, tapi ternyata tidak. Mega lebih memilih keluar berdesakan. Memakai sepatunya dengan terburu.
“Mega!” Rifqi menarik tas belakang gadis itu, saat dia akan berjalan melewatinya.
Mega berhenti, menatap Rifqi dengan cengirannya. “Eh Rifqi, kenapa?” Rifqi melepaskan tangannya. Mereka berdiri berhadapan. “Minta nomor hp lo, dong.” Mega mengangkat sebelah alisnya, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Ya Allah, ini Mega gak lagi mimpikan. Masa Rifqi minta nomor Mega, kan jadi senang. Batinnya, diam-diam tangannya mencubit tangan satunya. Yes, bukan mimpi.
Mega mengambil ponsel yang Rifqi sodorkan, tangannya mengetik nomor ponselnya dengan lincah. Mega Cantik💜 ... membuatnya terkekeh tanpa sadar.
“Eh jangan berdiri di jalan dong!” Mega melihat ke belakang, meringis saat menyadari teman-temannya masih berdiri di dekatnya karena jalan yang tersisa tak cukup untuk lewat.
![](https://img.wattpad.com/cover/164566174-288-k555720.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lir Ilir (Dimensi 1 dan 2, Selesai)
Teen Fiction[Re-publish] Lir Ilir (Dimensi 1), dimulai dari Prolog - Part 15. Kebencian Mega terhadap Seni Budaya membawanya kembali kemasa lalu. Seorang pemuda misterius yang gagah berani menyelamatkannya dari kejaran hewan buas. Lalu mampukah Mega kembali ke...