Hari senin pagi terasa menyebalkan bagi Mega. Entahlah, hanya saja Gadis itu malas untuk panas-panasan. Makanya setelah upacara bendera selesai Mega langsung lari ke kelas dan duduk di kursinya yang berada tepat di bawah kipas angin. Adem banget.
“Heh, Mega main kabur aja!” Lida yang baru datang langsung memukul bahu Mega dengan topinya, yang dibalas dengan delikan tak suka.
“Suka-sukalah, masalah buat ente?”
Lida merengut dan duduk di bangkunya yang berada di depan meja Mega. “Gua mau curhat dong,” ujarnya dengan nada yang sedikit memelas.
Rasti yang baru duduk langsung menimpali. “Masih pagi, udah jadi beban aja.”
“Serius nih, mumpung guru belum masuk mana anak-anak masih di luar kelas.”
“Curhat apaan?” Mendengar pertanyaan Mega, mata Lida langsung antusias.
“Gua mau jujur, kalau sebenernya gua udah gak perawan,” ujar Lida dengan lirih. Rasti dan Mega menatap Lida dengan wajah syok. “Gak usah ngadi-ngadi lo!”
Lida menatap mereka dengan frustasi. “Gua gak bohong, dan gua benar-benar tertekan dengan semua.”
“Sejak kapan?” Mega bertanya setelah merasa cukup tenang.
Lida termenung. “Beberapa bulan yang lalu.” Gadis itu menarik nafas panjang. “Beberapa hari gua gak masuk sekolah dengan alasan sakit, sebenarnya gua gak sakit. Keadaan gua baik-baik aja. Gua males banget sekolah, apalagi malemnya habis minum sama anak-anak.”
Rasti langsung menempeleng kepala Lida. “Otak lo isinya apaan anjing? Goblok banget sumpah.”
“Gua frustasi, orang tua gua gak pernah peduli. Apa-apa adek gua. Dari SMP juga gua udah biasa mabok.”
Mega mengucap istigfar dengan khusu dalam hati. “Tapi gak gitu caranya. Kamu tahu satu tetes alkohol masuk ke dalam tubuh, 40 hari ibadah kamu gak diterima. Dan …” Mega tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia masih tidak mempercayai jika temannya telah lama terjerumus dengan dunia hitam.
“Malu lu bangke, kerudung dibagus-bagus tapi akhlak hangus.” Rasti memang selalu seperti itu. Wajah Lida terlihat memerah. “Gua awalnya coba-coba karena butuh pelampiasan …” Gadis itu langsung berhenti saat anak-anak lain mulai masuk ke dalam kelas.
***
Mega menghela nafas pelan, pikirannya masih tertuju pada perkataan jujur Lida. Sedikit tak menyangka jika temannya sudah lama terjerumus pada pergaulan bebas seperti itu. Tangannya mengambil jaket yang terlipat rapih dari dalam tas dan satu minuman isotonic dari dalam laci. Senyumnya sedikit tersunging saat melangkah keluar kelas.
“Rena,” panggilnya pelan seraya menepuk bahu gadis yang tengah duduk sendiri dibangku depan kelas.
Gadis itu mengangkat sebelah alisnya, bertanya tanpa mengeluarkan suara. Mega menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang akan mendengar pembicaraan mereka. setelah dirasa aman, Mega sedikit membungkuk. “Pulang sekolah nanti, jangan pulang dulu, aku mau mau ngomong soal penting.”
“Masalah apa?” Tanyanya dengan nada bingung yang kentara.
Mega tersenyum samar. “Penting banget, tapi jangan sampai ada yang tahu, ya. Soalnya ini rahasia.” Setelah berkata seperti itu, Mega berlari turun ke lantai satu, lebih tepatnya ke kelas XII.IPA.1.
Mega sedikit mengintip ke dalam kelas dari luar jendela. Ternyata jam istirahat seperti ini anak kelas Rifqi lebih memilih memakan bekal atau jajanannya di dalam kelas. Dia kan jadi malu jika harus masuk ke dalam sana. Apalagi, tidak ada yang dia kenal, hanya tahu namanya saja. Namun perutnya malah berbunyi dengan kurang ajar. Apa boleh buat?
Mega mengetuk pintu yang setengah terbuka itu dengan pelan, tidak yakin apakah akan terdengar di dalam kelas yang tengah gaduh. Tubuhnya masuk dengan Langkah ragu setelah melepas sepatu. “Assalamualaikum!”
Mega melangkah dengan canggung saat anak-anak itu menjawab salam dan memerhatikannya dengan intens untuk beberapa saat. “Rifqi!” panggilnya saat sudah berdiri di samping meja pemuda dengan semangkuk mie di depannya.
“Aku mau ngembaliin jaket.” Mega mengulurkan jaket di tangannya dan meletakan minuman isotonic di meja.
Rifqi mengambil dan langsung memasukannya ke dalam tas. “Makasih,” pemuda itu mengangguk. “Terima kasih juga untuk minumannya.
***
Sepeti permintaan Mega tadi, kini dia dan Rena tengah duduk di depan kelas yang susah kosong. Bel pulang telah berbunyi 20 menit yang lalu. Dinding-dinding yang tadi hangat kini telah menjelma menjadi bisu yang mencekam bersama sinar mentari yang perlahan memudar.
“Aku gak tahu harus mulai dari mana.” Mega membuka percakapan. “Aku juga sebenarnya gak mau perduli, hanya saja aku merasa harus menanyakan ini karena kita teman yang sudah berbagi kelas semenjak SMP.”
“Cepet dong Meg, udah sore nih. Pacar gua udah jemput dari tadi.” Rena memperlihatkan chat dari pacarnya yang menyuruhnya cepat keluar.
“Maaf. Jadi gini aku ingin bertanya, bukan untuk menghakimi. Beberapa hari ini aku mendengar rumor bahwa Rena hamil, apa benar?” Mega menatap gadis itu dengan tak enak apalagi setelah pertanyaannya yang terdengar kurang ajar.
Rena tertawa mendengar pertanyaan Mega. Entah dia merasa sedikit lucu, tapi dalam hati mulai gelisah. Gundah yang tak mau pergi saat ia menyadari jika perutnya semakin membesar seiring berjalannya waktu.
“Aku gak maksud mau mojokin Rena. Aku hanya nanya, soalnya takut jadi fitnah.” Mega melanjutkan. Lorong kelas yang bisu menjadi saksi bagaimana saat itu Rena berkata dengan nada yang terdengar bergetar.
“Mega, kalau boleh jujur gua juga gak tahu hamil atau nggak.” Rena menatap ke arah lapangan yang biasa mereka gunakan untuk upacara bendera dan olahraga—dengan hampa.
Kali ini dia sedikit terkejut, apa yang dikatakan Syifa memang benar adanya. “Tapi meski gua gak tahu, gua juga ngerasain hal yang aneh. Lo tahu sendiri, perut gua membesar, nafsu makan besar, dan mudah lelah. Gua bingung harus gimana, orang tua gua semua di kota.”
“Rena maaf lancang, kamu pernah mual-mual gak?” Rena menggeleng dengan pasti. “Gak, tapi terima kasih sudah ngomong apa yang lo fikirin.”
“Rena mau cek gak? Aku bisa beliin kamu test pack kalau kamu mau untuk beli.” Gadis itu langsung menatap Mega dengan sorot terima kasih. Dia memang membutuhkannya, tapi tidak mungkin membelinya sendiri. Rena tidak siap melihat tatapan menyelidik dan menghakimi yang diarahkan padanya.
Jadi, ketika ada yang menawarkan kenapa harus menolak?
***
[12 Desember 2020]Aku gak tahu apa yang akan kalian lakukan ketika mengahadapi keadaan di atas. Teman yang mengakui dosanya dan teman yang menghadapi akibat dari perbuatannya.
Cuma aku mau bilang, pedulilah pada mereka jangan hanya menghakimi, rangkul mereka, dan arahkan dengan benar.
Jika itu temanmu, ingatlah mereka juga saudaramu, cukup mereka menanggung akibat dan penyesalan, jangan sampai kamu membuat hidupnya semakin berat.
Biru
(Yang gak bisa kalau disuruh buat lb) -_-
KAMU SEDANG MEMBACA
Lir Ilir (Dimensi 1 dan 2, Selesai)
Teen Fiction[Re-publish] Lir Ilir (Dimensi 1), dimulai dari Prolog - Part 15. Kebencian Mega terhadap Seni Budaya membawanya kembali kemasa lalu. Seorang pemuda misterius yang gagah berani menyelamatkannya dari kejaran hewan buas. Lalu mampukah Mega kembali ke...