My Fault

278 47 46
                                    

Berjalan di sepanjang trotoar itu hanya akan membuat kaki sakit dan lelah. Jadi kuputuskan untuk menelepon Niall untuk menjemputku saja. Yeah, sekarang aku berada di apartemennya, duduk manis, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Walaupun sebenarnya diriku sudah satu jam berada di sini.

Niall berdiri di dekat meja pantry dengan sekaleng bir yang dia minum. Sedangkan aku, masih dengan posisi yang sama persis ketika diriku datang ke sini.

"Sekarang apa lagi? Seharusnya kau tahu, rumahku bukan untuk pelarian saja."

Aku meliriknya sekilas. Lalu aku kembali pada kekosonganku. Hanya saja, ini lebih menarik dari apapun. Apa lagi jika dibandingkan dengan Niall.

"Hah!" Tiba-tiba Niall membuat suara keras, serta matanya melotot lebar seperti bola golf. "Kau  sudah bicara pada Kendall. Bagus!" Dia terlihat antusias, sedangkan diriku hanya memutar bola mata.

"Ayolah... Apa itu harus menjadi buruk setelah kau mengatakannya? Itu malah bagus!" serunya. Lalu langkahnya mendekat tepat di depanku. Aku hanya melihatnya dengan malas, dan menunggu omong kosong apa yang akan dia katakan lagi. "Buatlah hubungan mu senormal mungkin seperti sebelumnya."

Sekarang orang bijak mana yang baru mengatakannya?

Aku menaikkan satu alisku dengan tersenyum sengir. "Maksudmu mengejeknya dan kembali musuhan? Begitu? Kau melucu?"

Niall beralih duduk di sebelahku. "Idiot! Mengapa kau ingin mengejek dan memusuhinya? Kau pikir dia musuhmu? Kau pikir kau kubu barat dan dia kubu timur?"

Aku meliriknya tajam, lalu beralih menatap lurus. Tapi bukan berarti telingaku tidak bisa mendengarnya, dan sialnya, itu masih.

"Cobalah bersikap normal," tambahnya.

"Kau pikir aku gila?"

"Almost!" Niall memberi jeda sejenak dengan bernapas panjang. "Maksudku, bisakah kau biasa saja? Memberikan kasih sayang layaknya seperti sepupu sewajarnya? Bukan sayang yang melebihi dari batas rasa sayang seorang sepupu."

Aku beralih pada Niall setelah mendengar apa yang baru saja dikatakannya. Dia ada benarnya, tapi sayangnya aku tidak begitu setuju. Aku rasa Niall tidak benar-benar mengerti. "Itu tidak semudah seperti kau mengatakannya."

Niall mengangguk pelan. "Yeah, kau benar. Tapi justru aku--yang tidak merasakannya, bisa berpikir normal dibanding orang yang bersangkutan, yang mereka hanya bisa memikirkan perasaan tanpa memperhitungkannya. Setidaknya aku berada di tengah-tengah."

Aku mendongakkan kepala, mencoba meringankan rasa pusingku yang akhir-akhir ini sering terjadi. Sungguh, ini seperti mau pacah. Tapi tiba-tiba aku dikagetkan dengan getaran di paha. Dan aku baru sadar, ada orang yang sedang meneleponku.

"Anne?" Aku tahu siapa yang menghubungiku setelah melihatnya. Aku mengangkatnya. "Halo... Ad--"

Rasanya seperti dibekap, tidak bisa bernapas dan begitu sesak, sampai tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Ini seperti serangan mendadak dan hampir jantungan. Ponselku dengan begitu saja merosot beserta tubuhku. Tidak berdaya dan begitu lemas seperti tidak punya tulang. "Oh... God!" desahku. Setelah itu air mataku mengalir begitu saja.

"Harry, kau oke?"

"Harry..."

"Harry..."

Panggilan Niall yang ketiga kali membuatku tersentak dan sadar.

"Ken... Ken..." ucapku terbata-bata. Tiba-tiba saja lidahku terasa kaku dan sulit untuk digerakkan. Fuck!

"Harry... Jangan panik! Ada apa?!" Aku yang tidak tahu keadaanku atau malah terbalik. Tapi saat ini Niall terlihat sangat panik.

Cousin [Hendal]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang