Chapter 16 : Sebuah Fakta #2

851 70 0
                                    

Naila POV

"Assalamualaikum." Aku memasuki kelasku.

"Waalaikumsalam. Kenapa? Lu kok kayak lagi mikirin sesuatu?" Kayla menatapku heran, begitu juga Salma.

"Nggak apa-apa, kok." ucapku sambil duduk di bangkuku.

"Serius?"

Aku menghela napas, "Ada sih, cuma nanti aja aku omonginnya."

Mereka hanya bergidik heran. "Ya udah, kalo lu belum mau cerita."

Tidak lama kemudian bel berbunyi, dan kami memulai membaca Al-Quran masing-masing. Setelah 30 menit, kami selesai membacanya.

Bu Imas memasuki kelasku, karena pelajaran pertama hari ini adalah PPKN. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, bu."

"Hari ini tugasnya per-kelompok, ibu yang bakal pilih kelompoknya."

"Kelompok pertama, Agus, Dina, Kayla, dan Fatih."

"Yah, gue gak sekelompok sama kalian." ucap Kayla kecewa.

"Kelompok kedua, Raihan, Hani, Yusuf, dan Salma."

"Kelompok ketiga, Sari, Daffa, Tiara, dan Azmi."

"Kelompok keempat, Nikita, Kelvin, Syifa, dan Reval."

"Dan yang terakhir, Naila, Adit, Fanny, dan Irfan."

Bu Imas duduk di bangkunya. "Oke, tugasnya adalah diskusi bab 3. Lalu dipersentasikan di depan kelas."

Bu Imas membuka bukunya. "Sekarang, kita lanjutkan bahas buku paket halaman 138."

Kami pun melanjutkan acara belajar ini.

Kesempatan yang bagus buat aku tanya sama Fanny tentang masalah kemarin. Pikirku kemudian membuka buku paketku.

Naila POV End

***

Jam istirahat adalah waktu yang menyenangkan bagi seluruh siswa. Begitu juga dengan ketiga remaja itu. Namun kali ini bukan hanya bertiga, tapi berempat ditambah Ulfa.

"Sal, gimana ibu lu masih dirawat? Maaf ya, gue belum sempet jenguk ibu lu." ujar Ulfa.

"Iya, gak apa-apa. Insya Allah, lusa ibuku udah boleh pulang."

"Alhamdulillah deh, kalo begitu."

Salma menatap Naila yang hanya diam daritadi. "Nai, kamu kok diem aja? Ada masalah?"

Naila menghela napas, "Gak ada apa-apa kok."

Kayla yang daritadi hanya menyimak ikut bersuara. "Lu tau kan, kita ini sahabat. Kalo lu ada  masalah, lu bisa cerita ke kita. Walaupun kita gak bisa bantu, setidaknya beban lu gak begitu berat."

Naila menatap Kayla. "Jadi, kemaren aku ketemu sama Fanny. Cuma pas aku panggil dia, dia malah pergi begitu aja. Aku liat ada anak kecil disana, jadi aku tanya sama dia. Ternyata Fanny itu sering ngebantu anak-anak disana buat ngamen. Dan yang bikin aku makin bingung, kenapa dia ngubah namanya jadi Azka?"

Kening Kayla mengerut, "Hah? Jadi Fanny sering ngebantu ngamen?"

Naila menyeruput teh manisnya, "Nah, makanya aku pikir Fanny itu gak seburuk yang kita kira. Mungkin dia ingin membantu secara diam-diam biar gak dianggap pamer."

"Mungkin juga, kita juga gak bisa nilai seseorang cuma dari luarnya doang kan?" jawab Salma.

"Menurut kalian, aku harus gimana?"

"Lu sekelompok sama Fanny, kan?"

Naila mengangguk, "Iya."

"Nah. Kalo nanti ada kesempatan, lu bisa tanya sama dia. Tapi jangan langsung nanya, lu bisa nyapa dia dulu atau basa-basi dulu." saran Kayla.

Tiba-tiba Adit datang ke meja Naila. "Assalamualaikum, para ukhti-ukhti."

"Waalaikumsalam. Kagak usah pake ukhti, napa?!" ucap Kayla kesal.

"Hehe, yaudah gak usah pake ukhti lagi deh nanti. Oh ya, Nai, nanti kerja kelompok di rumah gue ya?"

"Kamu udah ngomong sama yang lain, emangnya pada setuju?"

"Udah kok, nanti pulang sekolah gue tunggu ya di rumah gue. Bye, Assalamualaikum." Adit pergi begitu saja dengan ekspresi senang.

***

Fanny POV

Sekarang, gue lagi jalan bareng sama kelompok gue. Sebenernya sih, gue males kerja kelompok kayak begini. Karena bagi gue, nilai itu gak penting. Nilai gak bisa menentukan masa depan gue seperti apa.

Gak disangka, gue udah sampe di rumah Adit. "Masuk, anggap aja rumah sendiri."

"Assalamualaikum."

"Gue beli makanan sama minuman dulu ya?" tanya Adit.

"Gak usah, takut ngerepotin." Naila emang suka banget caper kayak begini.

"Gak apa-apa, Nai. Kan, gue yang ngajak kalian kerja kelompok disini. Masa ngerepotin sih? Yaudah gue pergi dulu, gak lama kok." Adit mulai berjalan keluar.

Tiba-tiba Irfan berdiri, "Gue ikut, Dit!"

"Yaudah, cepet!"

Akhirnya, tinggal berdua doang gue sama Naila. Suasana disini bener-bener canggung.

Naila memecah keheningan, "Hai. Gak nyangka ya, kita bisa satu kelompok begini."

Gue meliriknya sebentar, "Emang kenapa kalo kita sekelompok? Lu gak suka?"

"Bukan gitu, cuma aku seneng aja. Kan kita jarang ngobrol berdua."

Dasar cewek aneh. Gue males kali sekelompok sama lu.

"Oh ya, ada yang mau aku tanyain. Kok pas aku panggil kamu, kamu langsung pergi gitu aja?"

"Mau tau jawabannya?"

Ia mengangguk, "Gue kagak suka liat muka lu!" jawab gue.

Ia malah tersenyum, "Kamu ini ada-ada aja. Aku tau kok, kamu ngebantu para anak-anak pengamen disana, kan? Kamu gak mau aku tau, makanya kamu langsung pergi."

Tau darimana nih cewek? Jangan-jangan anak-anak ada yang ngasih tau dia, sial.

Gue mengalihkan pandangan gue dari muka dia, "Bukan urusan lu! Lu kagak usah campurin hidup gue!"

"Iya, aku tau kok. Kamu juga gak harus jawab pertanyaanku," ia memegang kedua tanganku, "tapi kalo ada masalah, kamu bisa cerita ke aku. Aku bakal siap dengerin semua cerita kamu. Oke?"

"Iya." Entah kenapa kata itu langsung muncul begitu saja.

Kenapa gue bilang 'iya' sih? Kenapa juga gue jadi gak bisa ngomong kasar sama nih cewek? Ah, bodo amat dah.

Tiba-tiba Adit udah dateng sambil membawa sekantong plastik, diikuti Irfan di belakangnya.

"Assalamualaikum, nih gue beliin minuman dingin. Pasti lu berdua haus, kan?" Adit menaruh sekantung plastik itu di tengah meja.

"Waalaikumsalam, terima kasih buat minumannya." Naila tersenyum lagi.

Heran dah, mulut tuh cewek gak pegel apa? Senyum mulu daritadi.

"Sama-sama. Yaudah, yuk kerjain tugasnya! Nanti keburu malem lagi."

Kami pun memulai mengerjakan tugas ini. Walaupun gue sebenernya males.

***

Maaf ya, aku jarang update cerita ini. Mungkin kedepannya juga aku bakal jarang update. Sekali lagi maaf ya. Terima kasih buat yang masih baca ceritaku ini :)










Sahabat Dunia Akhirat [SUDAH TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang