Malam ini, rumah itu kembali bewarna. Keluarga itu kembali merasakan kehangatan setelah sekian lama.
Fanny dan keluarganya sedang makan malam kali ini, Naila juga ikut setelah dipaksa oleh Fanny.
"Ayo, makan dulu bentar Nai. Gue gak mau lu pulang dengan perut kosong."
"Gak Fan, aku makan di rumah aja. Takut ngerepotin kamu."
Fanny cemberut, "Yaudah, kalo lu gak mau gue marah nih."
Orang tuanya hanya tertawa kecil melihat kelakuan anaknya itu. Memang sudah pemaksa sedari kecil.
"Iya deh, aku makan dulu. Jangan ngambek dong." balas Naila kemudian.
Mereka pun makan malam, dan menghabiskan waktu dengan berbicara.
"Jadi selama ini kamu nginep di rumah Naila?" tanya Papa.
"Iya, Pa. Sebenernya Fanny gak berniat buat nginep. Cuma ya gitu, pas Fanny lagi down, ketemunya Naila." balas Fanny sembari menyuapkan nasi.
"Maafin Fanny ya, merepotkan kamu saja." ucap mamanya.
Naila tersenyum, "Gak kok, bu. Gak apa-apa, saya malah seneng bisa membantu Fanny. Saya juga sendirian aja kok di kost-an jadi sekalian buat temen, hehe."
Orang tua Fanny tersenyum menanggapi ucapan Naila. "Makasih ya Nak, udah mau membantu anak saya."
"Iya bu, sama-sama." balas Naila.
Mereka melanjutkan makan malamnya hingga selesai. Mama Fanny dan Fanny pun mencuci piring, meninggalkan papa Fanny beserta Naila di ruang makan.
Suasana hening, Naila bingung ingin mengatakan apa. Ia tidak terlalu suka suasana canggung seperti ini.
"Kalian ini sahabat ya?" tanya Papa Fanny tiba-tiba.
Naila menatapnya, "Iya, Pak."
"Saya gak nyangka Fanny bisa punya sahabat lagi. Sejak kejadian itu, Fanny tumbuh jadi anak yang keras, dan banyak orang yang ngejauhin dia." ucapnya sambil tersenyum.
"Awal-awalnya kita juga gak deket kok, Pak. Malahan, Fanny nganggep saya udah kayak musuhnya aja."
Papanya terkekeh, menanggapi omongan Naila. "Emang bener-bener anak itu. Haha."
"Ya, terus Fanny kan kena hukuman. Eh, saya yang dimintain tolong sama guru BK buat ngajarin Fanny agama. Fanny gak mau kan, saya ancem aja. Dianya langsung mau." cerita Naila.
"Terus sejak itu, kelakuan Fanny mulai mereda. Alhamdulillah, dia juga udah jarang nakal-nakal lagi di sekolah. Saya juga ajarin dia shalat, dan ajak dia shalat berjamaah." Naila tersenyum mengingat-ngingat kejadian itu.
Papanya tersenyum pahit, "Saya selama ini emang jarang ngajarin Fanny shalat, boro-boro itu. Kami aja selalu bertengkar kalo ketemu. Saya emang orang tua yang gak becus."
"Gak, Pak. Bapak jangan mikir kayak gitu. Bapak bukannya gak becus, bapak cuma gak tau cara mendidik Fanny yang benar. Karena Fanny itu berbeda, dia keras, dan cuma butuh kepedulian dari orang tuanya doang."
"Iya Nak, Insya Allah kami bakal lebih peduli lagi sama dia. Saya juga bakal tanyain dia tentang sekolahnya lagi."
"Alhamdulillah."
Fanny dan mamanya selesai mencuci piring dan kembali ke ruang makan.
Fanny mendelik ke arah mereka, "Hayo, Papa sama Naila ngomongin Fanny kan?"
"Apa sih? Tuduh-tuduh aja kamu ini." balas Naila.
"Hehe, abisnya dari dapur gue denger kayaknya seru banget ngomongnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Dunia Akhirat [SUDAH TERBIT] ✔
Fiksi Remaja(Beberapa part dihapus untuk kepentingan proses terbit) [Teenfiction - Spiritual] Hanya kisah tentang 4 remaja yang berproses untuk menjadi lebih baik. Dengan latar belakang yang berbeda-beda, mereka memiliki satu tujuan. Yakni, bersahabat baik di...