Chapter 15 : Sebuah Fakta

821 83 0
                                    

Salma bisa melihat raut wajah ayahnya yang khawatir, dari tadi ia hanya duduk sambil berdoa agar operasi ibu lancar. Ya, setelah minggu lalu Salma memenangkan Olimpiade itu, ibunya langsung didaftarkan untuk mengikuti operasi.

Seseorang menepuk bahu Salma. "Jangan cemas, ibumu pasti baik-baik saja."

Salma menoleh, "Sejak kapan kalian ada disini? Harusnya sekarang kalian ada di sekolah."

Orang itu adalah Naila, dan ia datang bersama Kayla.

"Gue sama Naila ijin ke pak Haris, dan Insya Allah pak Haris sama yang lain mau nyusul kesini."

"Oh."

Naila dan Kayla menghampiri ayah Salma dan menyalami tangannya.

"Eh, ada nak Naila dan Kayla. Berdua aja kesininya?"

"Iya pak, kami mau jenguk ibu Salma. Gimana kabar bapak? Sehat?" tanya Naila.

"Alhamdulillah baik."

"Pak, ibu Salma sejak kapan masuk ke ruang operasi?" Kali ini, Kayla yang bertanya.

"Sejak tadi pagi, hanya saja belum keluar sampai sekarang. Doakan saja ya, semoga dilancarkan."

"Amin, Insya Allah kami selalu doakan."

"Oh iya, silahkan duduk. Saya sampe lupa nyuruh kalian duduk."

"Gak apa-apa kok, kita berdiri disini aja."

Ayah Salma hanya mengangguk. Keadaan pun kembali hening, sampai dokter keluar dari ruang operasi.

Ia melepas maskernya. "Bisa saya berbicara dengan suami dari pasien di dalam?"

Semua berdiri, termasuk ayah Salma. "Saya suaminya, dokter."

"Ayo, ikut ke ruangan saya sekarang."

Ayah Salma mengangguk dan mengikuti dokter itu. Sementara mereka bertiga, masih cemas.

"Gimana ya, keadaan ibuku?" Salma menundukkan kepalanya.

"Insya Allah, ibu kamu baik-baik aja. Kamu jangan cemas dulu." Naila mengusap-ngusap punggung Salma.

Kayla hanya melihat kedua temannya itu. Seharusnya gue bersyukur punya mama yang selalu sayang sama gue. Biarpun mama sibuk, tapi gue masih bisa berkumpul sama dia. Semoga mama selalu diberi kesehatan, amin.

"Silahkan duduk, pak." Ayah Salma pun duduk.

"Jadi, gimana keadaan istri saya?" Ayah Salma tampak serius kali ini.

Dokter itu tersenyum. "Alhamdulillah, operasinya berjalan dengan lancar. Kita hanya tinggal menunggu agar istri bapak sadar."

Ayah Salma tersenyum bahagia. "Alhamdulillah, terus kapan istri saya bisa dijenguk, dok?"

"Mungkin sehabis ini, istri bapak akan dipindahkan ke kamar rawat inap. Bapak hanya tinggal mengurus administrasinya saja."

"Apa ada lagi yang mau dokter sampaikan?"

"Sejauh ini tidak, saya akan pantau terus keadaan istri anda sampai ia sadar."

"Terima kasih, dok. Kalau begitu, saya keluar dulu ya. Permisi, Assalamualaikum."

Ayah Salma kembali menghampiri Salma. "Gimana, yah? Apa kata dokternya?"

"Alhamdulillah, ibu udah baik-baik aja. Kita cuma tinggal menunggu ibu sadar aja. Ibu bakal dipindahin ke kamar nomor 430."

"Alhamdulillah." ucap mereka bertiga.

"Yaudah, Salma mau nemuin ibu dulu." Lalu Salma pergi begitu saja.

Salma mengetuk pintu. "Assalamualaikum."

Salma melihat ibunya yang sedang tidur, dan dipasangkan alat pernapasan. Salma merasa ingin menangis sekarang.

Ia memegang kedua tangan ibunya. "Alhamdulillah, operasi ibu berjalan dengan lancar. Setelah ini, ibu pasti bisa berbicara dan berjalan lagi. Ibu, aku kangen omelan ibu, kangen ibu kejar-kejar aku waktu aku gak mau mandi atau makan, kangen semua kenangan masa kecilku. Ibu, cepet sadar ya? Biar kita bisa sama-sama lagi. Ayah diluar sana cemas banget sama keadaan ibu. Makanya, ibu harus cepet sadar."

"Yaudah bu, aku keluar dulu. Assalamualaikum." Salma keluar dari kamar itu.

Ayahnya gantian masuk ke dalam kamar itu. "Sal, shalat Ashar dulu yuk. Biar hati kamu tenang." ajak Naila.

Salma mengangguk pelan. "Iya, ayo shalat."

Mereka bertiga segera menuju masjid terdekat dan menuaikan shalat Ashar. Setelah selesai, mereka langsung kembali ke rumah sakit.

"Gimana, udah tenang kan?"

"Iya. Terima kasih ya, Nai."

Mereka sampai di depan pintu kamar, ternyata pak Haris dan yang lainnya sudah sampai disana.

"Eh? Kapan sampainya pak?" taqnya Kayla sembari menyalami tangan pak Haris.

"Baru tadi kok," Salma menyalami tangan pak Haris juga. "Yang sabar, pasti ibu kamu akan sadar."

"Iya pak, terima kasih."

Ayah Salma keluar dari kamar. "Eh, ada pak Haris toh."

"Iya, saya sama anak-anak mau jengukin ibunya Salma."

"Silahkan masuk, tapi jangan berisik."

Mereka masuk semua, tapi tidak dengan satu anak, Fanny. Nampaknya ia sangat terpaksa ikut. Berbeda dengan Adit yang memang dari awal benar-benar semangat.

***

Naila POV

Sore ini, aku berencana kembali ke rumah sakit setelah pulang sekolah. Kabarnya, ibu Salma sudah sadar sejak dua hari yang lalu. Aku menyusuri jalan kota dengan menaiki sepedaku. Sampai sebuah pemandangan menghentikanku.

Fanny? Itu beneran dia kan? Tapi, kenapa dia ada disini? Aku panggil aja deh.

"Fanny!" Aku menghampirinya, namun ia malah menghindariku.

"Fanny!" Aku berusaha memanggilnya lagi, tapi ia sudah pergi cukup jauh.

Aku bertanya kepada salah satu pengamen itu. "Assalamualaikum, dek. Kakak mau tanya, boleh gak?"

Anak kecil itu menoleh padaku. "Waalaikumsalam, boleh kok."

"Emm, tadi yang kesini itu siapa ya? Terus dia kesini karena apa?"

"Oh, yang tadi itu kak Azka. Dia sering ngebantu kita buat ngamen. Dia juga lumayan bagus suaranya."

"Kapan biasanya dia kesini?"

"Gak tentu sih, tapi setiap minggunya dia selalu datang kesini. Emangnya ada apa ya, kakak tanya hal seperti itu?"

"Soalnya dia itu temen kakak, cuma kita gak begitu deket. Oh ya, nama kamu siapa? Kalo kakak, namanya kak Naila."

"Namaku Dinda, kak."

"Memangnya kalian harus mengamen? Kan bisa kalo diganti dengan pekerjaan yang lain."

Dinda merubah raut wajahnya menjadi sedih. "Kalo gak ngamen, kita mau makan apa kak? Kita udah gak punya orang tua, bahkan ada salah satu dari kita yang dibuang sejak lahir."

"Begitu, ya? Yaudah, terima kasih ya buat infonya." Aku beranjak pergi dari sana.

Aku kembali menghampiri mereka. "Ini ada sedikit rejeki dari kakak, semoga bisa bermanfaat ya? Kakak pamit dulu, Assalamualaikum."

"Terima kasih, kak. Waalaikumsalam." Jawab Dinda.

Aku kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit.

Kak azka? Kenapa Fanny ngerubah namanya? Ternyata Fanny itu memang baik, hanya saja ia menutupi semua itu dengan kejahatannya. Tapi, apa alasan Fanny selalu berbuat ulah? Entahlah, aku tanya kepadanya besok saja.

Naila POV End.

***

Barang siapa yang membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan di dunia, maka kelak Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat.

Sahabat Dunia Akhirat [SUDAH TERBIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang