Béatrice terbangun dan melihat sekelilingnya secara otomatis. Ia melihat ke luar melalui jendela pesawat kemudian menyadari dimana dirinya berada. Ternyata ia masih dalam perjalanan menuju Amsterdam.
"Apa semuanya sudah dipersiapkan dengan baik?"
Suara percakapan seseorang menyadarkan Béatrice dari lamunannya. Chavalier yang duduk di kursi sebelahnya sedang menerima panggilan dari seseorang. Tampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius. Bahkan Chavalier masih belum menyadari kalau Béatrice sudah bangun dari tidurnya. Béatrice memilih untuk tidak menganggu dan menunggu Chavalier.
Chavalier menghela nafas. "Kita harus merilis beritanya sebelum mereka melakukannya. Kau tahu itu bukan?"
"..."
"Iya, aku tahu. Hanya pastikan saja kita melakukannya terlebih dahulu. Pukul berapa ia melakukan conference?"
"..."
"Kalau begitu, kita akan melakukannya pukul 7." Chavalier berkata dengan tegas. "Tidak, Dion. Pukul 7. Kita harus mencegah apapun statement yang diberikan olehnya. Apapun yang akan dikatakannaya, kita tetap akan merilis beritanya pukul 7. Pastikan mereka tidak mengetahui rencana ini. Kau mengerti?" Tanya Chavalier.
"Bagus." Setelah mendapatkan balasan yang diinginkannya, Chavalier menutup panggilan tersebut. Ketika melihat ke samping, ia baru menyadari bahwa Béatrice sedang memandanginya. "Sudah berapa lama kau bangun?"
Wanita itu tersenyum. "Sudah cukup lama untuk mendengarkan semua percakapanmu di telepon." Balasnya. Béatrice duduk menghadap pada Chavalier. Ia menatap pria itu dengan khawatir. "Ada apa? Apakah ada masalah di Italia?" Béatrice bertanya dengan khawatir.
Chavalier menggeleng. "Tidak ada apa-apa, Bee. Hanya ada beberapa urusan kantor yang harus ku selesaikan." Jawab Chavalier.
"Kalau kau memiliki urusan yang harus diselesaikan, lalu kenapa kau malah mengajakku pergi?"
Pria itu mengendikkan bahunya dengan santai. "Kita membutuhkan liburan." Kemudian Chavalier meraih tangan Béatrice dan menggenggamnya. "Berhentilah memikirkan sesuatu yang sulit, dan beristirahatlah. Kau dan aku sangat sibuk, bukan? Kapan lagi kita bisa berlibur dengan tenang?"
"Tapi kau yakin tidak apa-apa? Benar-benar tidak ada masalah bukan?" Béatrice masih terlihat tidak begitu yakin.
"Tentu saja. Kau bisa percaya padaku."
Béatrice menghela nafas. Entah mengapa, meskipun Chavalier telah mengatakannya sedemikian rupa namun hatinya terasa tidak tenang. Ia hanya berharap ini hanya sebuah kekhawatiran tak beralasan, dan bukan firasat buruk.
Semoga.
***
"Ik had niet verwacht dat je hier echt bent geweest."(1)
Seorang pria asing menyapa mereka di bandara. Béatrice mengernyitkan kening melihat pria yang sama sekali tidak ia kenal. Ia sempat mengira bahwa pria itu salah orang, tapi sepertinya Béatrice salah.
"Ik kwan echt, stom(2)." Balasan yang diberikan Chavalier membuktikan pemikirannya. Ternyata pria yang sepertinya orang asli Belanda ini mengenal Chavalier. Kini pandangan pria asing itu beralih padanya. "I think right now your girlfriend is confused by what we are talking about." Perkataannya membuat Béatrice terkejut. Ternyata pria ini bisa berbahasa Inggris.
Chavalier tersenyum geli. "Aku rasa begitu." Balasnya. Ia pun memperkenalkannya pada Béatrice. "Kenalkan, Bee. Ia adalah Leonhard Nicolaas Roosevelt, temanku waktu aku kuliah di Harvard dulu. Aku memintanya untuk membantuku menyiapkan liburan kita disini. Dia lebih mengetahui Amsterdam dibandingkan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
AQUAMARINE | EUROPE SERIES #2 (COMPLETED ✔)
RomantikBéatrice hanya menginginkan satu hal setelah kematian kedua orang tuanya, ia hanya ingin jatuh cinta. Ia menemukan semua hal yang diinginkannya dalam Chavalier. Pria itu berhasil membuatnya dapat menghadapi sisi kelam dalam dirinya dan berjuang unt...