23. Sendal Jepit dan Pembalut

32.7K 3.6K 112
                                    



Budayakan vote dan komen yaak bapak2, ibu, ncang ncing, nyak babeh... 😚

Senin hari ini terasa begitu cerah, pasalnya sejak Senin terakhir aku belum melihat Manusia Kampret menyebalkan itu di kantor, dan aku juga memutuskan kontak dengan Darren sejak terakhir bertemu di Rumah Sakit. Yap, aku block semua hal-hal yang bisa menghubungkanku dengannya, aku hanya ingin terbebas dari segala kemumetan akan urusan-urusan yang menyangkut dengan manusia berbelalai, kecuali untuk urusan pekerjaan.

Ternyata tenang sekali rasanya jika hidup tanpa ada lelaki yang kadang-kadang suka mengacaukan pikiran. Padahal, sebelum-sebelum ini malahan aku merasa frustasi akibat kejombloanku yang sudah karatan. Memang sejak putus dari pacar satu-satunya waktu SMA dulu, aku belum sempat memulai hubungan baru dengan lelaki manapun. Masa-masa kuliah kuhabiskan dengan fokus belajar dan menguruskan badan. Tapi begitu badanku sudah berada di angka yang proporsional, masih belum ada juga lelaki yang nempel padaku. Mungkin karna aku kurang pergaulan kali ya, memang teman-temanku kebanyakan perempuan.

Herannya ketika sekarang ada seseorang yang mencoba mendekatiku, situasinya malah memusingkan. Jauh lebih memusingkan dari saat aku menjomblo kemarin. Cinta itu memang rumit ya. Kadang membahagiakan tapi kadang juga menyakitkan.

"Xia..." suara Lina membuyarkan lamunan singkatku tentang cinta. "Bengong aja lo."

"Ngelamunin apaan lo, ngelamun skidipapap sawadikap ye?"

"Haa...? Skubidoopapap cuap cuap? Apaan, Mbak?" Istilah ajaib apa lagi itu yang diucapkan Lina.

Lina terkekeh mendengar pertanyaanku, "Itu loh, blaem-blaem nyoiii."

Aku cuma bisa garuk-garuk kepala mendengar istilah ajaib lainnya, makin puyeng.

"Haha, indehoy. Elaaaaahhh, nggak gaul banget sih nih abege. Itu kan bahasa lagi ngetren sekarang di kalangan netijen."

"Bahasa alay kali tuh, Mbak."

"Eh, by the way, udah siap kan dokumen yang mau dibawa meeting ntar ke BCA?" tanya Lina.

"Udah kayaknya, Mbak." Nanti siang jam dua aku dan Lina ada meeting dengan bank yang merupakan salah satu bank terbesar di Indonesia. Seharusnya Gea yang berangkat tapi karna wanita itu sudah memasuki masa cuti, maka Lina lah yang menggantikannya. Aku jalan sendiri tentu takkan bisa, karna aku masih dianggap anak bau kencur.

"Yaudah, nanti kita berangkat barengan dari sini."

"Oke, Mbak."

Lina kembali melanjutkan pekerjaannya, begitupun juga diriku. Sambil mata tetap fokus ke arah layar laptop dan jari jemari sibuk mengetik, tiba-tiba aku memikirkan tentang dokumen itu. Akhirnya aku kembali mengecek isi tas untuk kelengkapan dokumen yang akan kubawa nanti.

Satu persatu kulihat dan kubaca dengan teliti.

Astagfirullah! Kok nggak komplit? Yang ada tanda tangan Pak Dharma nya mana?

Ini karna hari jumat kemarin badanku terasa tak enak sehingga aku ijin pulang cepat dan membawa pekerjaan pulang ke rumah. Walhasil, sial sungguh sial ada dokumen yang tertinggal di rumah.

Mati gue!

"Gue harus pulang nih ngambil." aku melihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima menit.

"Mbak Lina!" aku berdiri dan memanggil Lina dari tempatku. "Gawat nih!"

"Gawat apaan?"

"Dokumen yang ada tanda tangan Pak Dharma ketinggalan di rumah."

INTERVIEW (END) - revisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang