Malu. Malu. Malu.Hanya kata itu yang selalu berputar-putar di pikiranku setelah menjalani interview barusan. Aku kini sedang berdiri di depan cermin besar di dalam toilet. Meratapi kebodohan yang sering kulakukan dalam setiap interview. Apa yang salah dengan diriku, Tuhan? Apa aku memang tidak layak bekerja di perusahaan? Atau memang takdirku hanya untuk meneruskan usaha bebek yang digeluti oleh Papaku?
Aku mendesah keras, sedikit merapikan pakaian dan rambut serta memoleskan sedikit lipstik berwarna nude ke bibirku sebelum pulang.
Senin besok juga akan ada interview di perusahaan yang bergerak di bidang industri agribisnis. Aku tak berharap banyak lagi dengan interview, sepertinya itu akan menjadi interview terakhirku nanti. Atau mungkin lebih baik tak usah kudatangi saja panggilan itu.
Aku keluar dari toilet dengan wajah murung, kepalaku terasa pusing karna sedari tadi aku selalu berusaha menahan tangis. Jika saja tak ada orang di toilet tadi, mungkin sudah kutumpahkan semuanya di sana. Aku benci dan kecewa terhadap diri sendiri, saking bencinya hingga ingin menangis. Air mata itu akhirnya tumpah juga di depan lift, aku buru-buru menghapusnya agar tak ada yang melihat.
Di dalam lift, aku merenungi nasib. Tepat dua lantai setelah turun, pintu lift terbuka menampilkan seorang pria yang ku kenal berdiri dan memasuki lift dengan senyum manis di bibirnya. Aku hanya membalas dengan senyuman tipis. Aku ingat, seminggu yang lalu aku menginjakkan kaki di lantai ini melakukan interview dengan pria di sebelahku.
Iihhh, kenapa rasanya lama banget ya turun dari lantai dua belas ke lantai dasar? batinku menggeram. Aku merasa awkward sekali saat ini hanya berdua saja dengan pria ini di dalam lift.
"Kamu habis nangis?" tanya Darren mendadak memecah keheningan diantara kami. Dia memajukan wajahnya menatapku dengan seksama.
"Eh?" Aku mengerjap kaget mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba. "Eng... Nangis? Nggak kok." Kenapa nih cowok tau kalo gue tadi abis nangis ya? Btw, dia ganteng banget ya kalo diliat dari deket begini.
"Mata kamu merah dan berair."
"Ini... Ini... Tadi kelilipan." jawabku berbohong sambil mengusap-usap mata. Aku memundurkan tubuhku sedikit menjauh darinya yang berdiri terlalu dekat. Duh, bisa jantungan gue kalo diliat sedeket ini.
Darren mengangguk-angguk. "Gimana interviewnya tadi?"
"Lumayan."
"Saya harap kamu diterima, meskipun calon bos kamu itu agak galak."
"Iya, semoga aja." Udah pasti nggak diterima lah, wong first impression aja udah nggak bagus.
Tinggg!!! Akhirnya lift terbuka juga di lantai dasar.
"Nih, bersihkan wajah kamu. Duluan ya." ucap Darren sebelum meninggalkanku ternganga dengan saputangan berwarna abu-abu yang ia letakkan di tanganku.
Aku menatap sapu tangan yang berada di telapak tanganku, masih terpaku berdiri di dalam lift seperti kambing congek.
"Mbak... Mbak mau naik lagi apa gimana?" suara seseorang menyadarkanku dari keterkejutanku.
Aku langsung keluar dari lift dan menuju ke resepsionis gedung untuk menukar kartu visitor dengan KTP yang kutinggalkan disana.
Di dalam bus Transjakarta aku duduk melamun sambil menatap saputangan milik Darren. Ternyata gara-gara nangis tadi maskara yang kupakai sedikit luntur, untung saja mbak-mbak resepsionis kasih tau. Sialan, katanya waterproof. Kena tipu barang palsu nih gara-gara beli di online shop kemaren!
KAMU SEDANG MEMBACA
INTERVIEW (END) - revised
ChickLitBagi sebagian orang, mungkin proses interview melamar pekerjaan merupakan sesuatu yang menyenangkan. Tapi tidak bagiku, aku yang kadar paniknya suka melebihi rata-rata, menganggap interview adalah sebuah momok yang menakutkan. Bagaimana kita berinte...