20. Good News or Bad News?

34.9K 3.4K 182
                                    



Vote komennya ditunggu...😘😘

Aku teringat kembali kilasan kejadian saat Raffa mengantarku pulang semalam, kebetulan dia sedang membawa mobil. Di tengah perjalanan ada kecelakaan yang terjadi tepat pada mobil di depan kami. Hal itu membuatku shock berat, untung saja tidak berpengaruh pada mobil yang kami kendarai.

Setelah berhasil melewati mobil tersebut, Raffa meminggirkan mobilnya di bahu jalan tol. Mungkin karna melihat wajahku yang pucat dan terdiam membeku.

"Lo gapapa, kan?" tanya Raffa terlihat cemas. Ia memegang bahuku memastikan.

Aku masih diam namun namun nafasku naik turun. Kejadian tadi mengingatkanku pada kecelakaan yang menimpa sahabat masa kecilku yang juga terjadi tepat di depan mataku. Saat itu umurku masih sepuluh tahun, keluargaku dan keluarga Nina tengah dalam perjalanan pulang dari liburan, mobil yang dikendarai keluarga Nina yang berada tepat di depan mobil keluargaku mengalami kecelakaan, dan aku melihat sendiri bagaimana mobil itu ditabrak oleh sebuah mobil yang melayang dari jalur berlawanan.

"Xi... Xia... jawab gue! Lo kenapa?" Raffa sekarang memutar tubuhku dan menggoyang-goyangkan kedua bahuku.

Aku hanya bisa menangis ketika lelaki itu meraihku ke dalam pelukannya dan membelai rambutku dengan harapan dapat menenangkanku.

"Gue inget kecelakaan yang menimpa sahabat gue." jawabku terbata-bata, sambil mengusap airmata dengan kaos yang dikenakan Raffa.

Ssrrhhoootttt!!! Aku menyeka ingus masih dengan kaos itu, untungnya Raffa tak komplain dengan hal yang baru saja kulakukan. Biar aja, namanya juga lagi sedih.

"Udah udah, jangan nangis lagi dong, masa tukang ngupil nangis sih? Mana meper di kaos gue pula."

Aku memukul dada Raffa kesal, masih aja dia bahas-bahas aib sekolah dulu. "Lo tuh udah tau gue lagi sedih bukannya dihibur malah dikatain, lo mau gue peperin upil beneran?!" aku mengancam sambil melotot padanya.

"Hehe, jangan dong." Raffa kembali menarikku ke dalam pelukannya dan mengusap punggungku. Eh, kok jadi peluk-peluk sih?

"Udah, udah, gapapa. Daripada sedih gini mendingan lo kirim doa buat sahabat lo itu." jawab Raffa menepuk-nepuk punggungku.

Aku mengangguk masih terisak, "Makasi ya, Raf."

Aku menarik tubuhku dari pelukannya ketika emosiku mulai mereda. Raffa kembali mengusap airmataku dengan jarinya dan tangan lainnya masih menahan tubuhku, sementara aku hanya menunduk.

Kenapa rasanya kok mukanya si Kampret ini deket banget ya ke muka gue?

Loh?

Loh?

Loh?

Mau ngapain doi kok ngangkat dagu gue?

Pandangan mataku masih menatap ke bawah. Kenapa aku malah diam saja saat daguku diangkat?

Ketika mataku menatap tepat ke arah wajah Raffa, kulihat ia semakin memajukan wajahnya dan tatapan matanya turun ke bawah. Ke arah bibirku.

Aku ingin mundur atau mendorongnya, tapi kenapa tanganku malah tak bisa digerakkan seolah tubuhku terkunci.

Satu detik lagi mungkin bibir Raffa sukses mendarat dengan mulus di bibirku, jika saja aku masih terdiam.

Huacchiiiimmmmm!!!!

Aku pura-pura bersin saja dan menyembur sangat banyak di wajah Raffa hingga membuatnya kaget dan mundur.

Huaacchiiiimmmm!!!

INTERVIEW (END) - revisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang