C H A P 14

11.1K 516 8
                                    

Acara pernikahanku sudah selsai sejak dua jam yang lalu. Seperti ucapan Edgar saat resepsi tadi, kini aku sedang bersamanya di dalam kamar. Hanya berdua. Ia sedang mencari sesuatu dalam lemari bajunya yang kini sudah menjadi lemariku juga. Aku terus melihat gerak gerik Edgar, tangannya mengecek setiap laci dalam lemari.

Ia menegakkan tubuhnya begitu ia menemukan apa yang ia cari. Ia menutup pintu lemari dan berjalan ke arahku yang sedang duduk di pinggir kasur.

"Ambilah dan baca dengan teliti setiap kata," ucapnya sambil menyerahkan sebuah map berwarna kuning kepadaku.

Aku menerima meskipun kini kepalaku penuh dengan pertanyaan yang ingin sekali aku tanyakan pada Edgar. Namun ku urungkan niat itu, akan aku tanya kan saat aku sudah
selesai membaca isi map ini.

Surat itu berjudul perjanjian. Apa ini perjanjian yang di maksud Edgar tadi?

Aku membacanya dengan teliti, terkadang aku membaca berulang kali untuk memastikan apa yang aku baca itu adalah benar.

Aku menutup map itu setelah aku selesai membaca. Edgar menatapku, dan mengambil map itu dari tangaku.

"Sudah kau baca bukan? Aku tidak akan meminta persetujuanmu, karena aku tidak butuh itu. Mau tidak mau, kau harus menerimanya. Karena itulah konsekuensi atas pernikahan ini," ucapnya dingin, lalu ia pergi meninggalkanku seorang diri.

Apa hanya aku yang mengalami ini? Apa ini serius? Aku adalah istrinya, dan dalam surat itu tertulis bahwa aku boleh tidak memperlakukan dia sebagi seorang suami, kecuali didepan orang tuanya.

Dan di kertas sialan itu juga tertulis, bahwa aku harus siap jika suatu saat aku di ceraikan oleh nya.

"Ibu, mengapa ini terasa sangat sulit?" lirihku, kini mataku sudah tidak mampu menampung air mata yang sudah ku tahan sejak tadi.

"Ibu, bantulah aku dalam menjalankan ini semua" ucapku di sela isak tangis.

Tiba-tiba pintu terbuka, Lala sedang berdiri di sana. Dengan cepat aku menghapus air mata yang ada di pipiku, dan menetralkan suara ku agar tidak terdengar seperti habis menangis.

Lala berjalan ke arah ku, aku menyambutnya dengan senyuman yang sedikit ku paksakan. Jari-jari mungil Lala menyentuh pipiku dan mengusapnya lembut.

"Bunda jangan nangis lagi, Lala ada disini. Lala akan nemenin bunda. Tapi, bunda ga boleh nangis," ucapnya, tanganya masih mengelus kedua pipiku.

Aku memegang tangan Lala yang berada di pipiku. "Bunda hanya terlalu senang, sampai bunda menangis saking bahagianya," bohongku.

Aku tidak ingin Lala khawatir, jadi terpaksa aku berbohong. Wajah Lala berubah, ia menjadi bahagia. Lala tersenyum lebar sampai gigi kecilnya yang berwarna putih itu terlihat.

"Bunda pasti seneng banget ya? Lala juga mau nangis biar kelihatan bahagia kaya bunda" ujarnya.

Aku tertawa, astaga dia sangat polos sekali. Aku memeluknya erat, aku masih tidak percaya bahwa Lala menjadi anakku sekarang, ya walaupun bukan aku yang melahirkan dia.

Lala menepuk dahi nya, "Lala lupa, bunda di panggil nenek. Kita mau makan bareng,"

Aku manggandeng tangan Lala, kita berjalan berdua menuruni tangga menuju ruang makan. Sudah banyak orang yang duduk di sana, aku tersenyum menyapa mereka semua.

Aku duduk tepat di sebelah Edgar, dan Lala berada duduk di depanku. Banyak makanan yang sudah tersaji di atas meja. Dari makanan yang aku tudak sukai sampai yang menjadi favorit ku pun ada.

"Karena semua sudah kumpul, jadi silahkan di nikmati hidangannya. Ambil sepuasnya jika kalian ingin," ucap ayah mertuaku.

Aku mengambilkan nasi untuk Lala, agak sedikit sulit karena jarak antara aku dan Lala lumayan jauh. Baru saja aku ingin mengambil nasi untukku sendiri, tapi tante Sukma sudah lebih duli berbicar.

"Suaminya ga di ambilin nasinya?" tanyanya. Aku melirik Edgar, ia seperti tidak peduli.

"tidak usah, aku bukanlah anak kecil," ucapnya.

Aku mengambil nasi dan menaruhnya di piring Edgar, "Sudah ku bilang tidak usah, apa kau tuli?" bisiknya.

Aku tidak peduli, suasana hatiku sangat tidak menentu sekarang. Aku kembali mengambil nasi untukku sendiri.

"Selamat makan," ucap mereka serempak.

Aku mulai memakan makanan ku, sesekali mereka mengucapkan gurau an yang membuat kami tertawa. Namun juga ada yang berperan sebagai penegur, karena tidak baik bicara saat makan.

Mereka sangat menyenangkan, tidak seperti orang yang kini menjadi suamiku. Dia itu sangat menyebalkan dan juga memiliki hati batu. Setidaknya itu yang aku tahu.

_______________________________

Tebece.

Akhirnya UAS kelarrrrrrrr......

Ada yang rinduu??

Aku mau ngasih tau, mungkin abis part ini alurnya agak aku cepetin. Bukan hanya di part selanjutnya saja, tapi mungkin di part part selanjut nya akan ada yang alur nya aku cepetin. Ga semua part ya, hanya beberapa 😁 biar ga kelamaan.

Makasih lohh yang udh mau baca cerita ini, maaf ya klo bahasa nya kurang bagus, banyak typo, aneh atau dll.

Aku masih amatir dan tidak tahu dunia penulisan yang sesungguhnya. Jadi maaf aja klo bahasanya abstrak.. Hahaha.. 😅😅

MAKASIH SEMUA NYA 🙏 KU SAYANG KALIAN 💕💕💕

See you....

Istri Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang