C H A P 18

11.8K 571 55
                                    

Aku terbangun saat mendengar suara pecahan kaca yang terdengar begitu nyaring. Dengan cepat aku berjalan menuju sumber suara, terkutuklah taman yang luas ini. Sepertinya aku harus berlari agar cepat sampai.

Betapa terkejutnya aku saat sampai di sana. Lala tengah berdiri sambil menatap piring yang kini sudah tak berbentuk itu. Bi Iyah datang dengan nafas yang memburu, sepertinya bi Iyah sama seperti ku.

"Lala, kamu ngapain di sini sayang?" tanyaku selembut mungkin. Aku tidak ingin Lala menjadi sedih karena ia telah menjatuhkan piring hingga pecah. Hal ini sudah biasa di lakukan oleh anak kecil, bukan?

Aku mengusap kepalanya, rambutnya yang panjang masih terlihat kusut. Sepertinya Lala baru bangun tidur.

"Lala nonton tv aja ya, biar bunda yang beresin ini." aku menuntun Lala menuju ruang TV.

Saat aku ingin kembali ke dapur, aku merasakan ada yang memeluk pinggangku. Sudah pasti itu Lala. Aku berbalik untuk melihat Lala. Aku melihat Lala yang wajah nya sudah merah padam. Di pelupuk matanya juga sudah menggenang air yang siap untuk meluncur.

"Lala, ga salah ko. Ini udah biasa, bunda ga akan marah sama Lala, jangan nagis ya. Anak bunda yang cantik, ga boleh nangis." aku berusaha menghibur Lala agar ia tidak menangis.

Benar saja, ia langsung menghapus air matanya dan memeluk ku lagi. "Lala sayang bunda." ucapnya.

Aku mengelus punggungnya, "Bunda juga sayang Lala. Lain kali, Lala harus hati-hati. Kalau Lala ga bisa, panggil bunda atau bibi aja, oke?"

Aku merasakan Lala mengangguk, aku tersenyum. Tidak sulit untuk menasihati anak penurut seperti Lala. Lala begitu lucu. Pemikirannya bisa di bilang dewasa di umurnya yang ke depalan tahun. Namun, itu tidak menghilangkan sifat-sifat yang melekat pada anak kecil seumurnya. Itu membuatku gemas pada Lala.

Ia bisa menjadi dewasa namun juga bisa menjadi manja di saat yang bersamaan.

Aku kembali ke dapur. Di sana ada Bi Iyah yang sedang menyapu pecahan piring.

"Sudah saya bersihkan semua, Nyonya." Bi iyah pergi dengan serokan yang penuh dengan pecahan piring.

"Makasih, bi." aku kembaki ke ruang TV, menemai Lala yang sedang asik menonton kartun sambil memakan camilan.

***

Tok.. Tok.. Tok..

Aku mengalihkan pandanganku ke pintu utama rumah ini. Siapa orang yang berkunjung malam-malam ke rumah ini? Ini sudah jam sepuluh malam. Astaga! Itu pasti Edgar. Ia belum pulang sejak dua jam yang lalu.

Dengan langkah selebar mungkin aku berjalan menuju pintu yang sudah terkunci. Aku membuka kuncinya dan membuka pintu itu lebar-lebar. Benar saja, Edgar sedang berdiri di sana.

Aku mengulurkan tangan bermaksud untuk menyalaminya, sebagai seorang istri kepada suaminya. Ia hanya memandang ku datar, dan berlalu begitu saja. Aku memnadang tanganku yang masih terulur di udara. Aku manarik tanganku kembali dan berjalan mengikuti Edgar dari belakang.

"Sedang apa kamu di belakang saya?" ucapnya tanpa membalikan badannya untuk melihat ku.

"A-aku.. Aku hanya ingin membantu mu," entah mengapa mendengar suaranya yang dingin itu membuatku gugup. Aku tidak suka dengan situasi ini.

"Akan aku ambilkan minum. Kamu pasti haus,"

Baru saja aku akan neknagkah namun sebuah tangan sudah menahan lengan ku. Cengkraman nya begitu kuat, tanganku terasa sakit. Tapi aku tidak ingin menunjukkan nya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya nya.

"Bukankah aku sudah bilang." Edgar membalikkan badannya, ia menarik tangaku hingga tubuhku berbalik menghadapnya.

Aku bisa merasakan hembusan nafasnya di wajah ku. Aku harap Edgar tidak mendengar suara jantungku yang berdetak sangat kencang sekarang. Aku takut saat melihat amarah dalam manik matanya, namun aku juga senang bisa melihatnya dari jarak sedekat ini.

"JANGAN PERLAKUKAN AKU SEBAGAI SUAMI MU! KAU PASTI INGAT ITU!" bentaknya di depan wajahku. Aku hanya memejamkan mata.

"Sial! Kau hanya orang asing yang datang dan membuat hidupku semakin kacau!" kini suaranya sudah tidak sekencang tadi.

"Aku harap kamu cepat pergi! Jika bisa mati saja agar kau tidak menggangu hidup orang lain!" aku terpaku, hatiku seperti di tusuk oleh ribuan pisau. Mati? Dia menginginkan aku mati? Suamiku menginginkan istrinya mati?

Mataku memanas, genangan air yang sudah ku tahan sudah siap meluncur dari mataku. Aku ingin mentertawakan diriku sendiri. Mengapa saat itu aku dengan bodohnya mengajukan diri menjadi ibu Lala yang otomatis menjadi istri Edgar. Aku hanya ingin menjadi seorang istri yang baik, apa itu salah?

Tolong katakan di mana letak kesalahanku hingga suamiku menginginkan aku mati.

"Cih! Dasar lemah! Kau hanya bisa menangis? Kenapa aku tidak bunuh diri saja sekalian, dari pada kau harus membuang-buang air mata buaya mu itu. Jangan harap aku akan luluh dengan melihat mu menangis. Bahkan jika kau mati saat ini juga aku tak akan luluh! Ingat itu! " ia mendorong ku kencang hingga tubuhku terbentur sofa dan terjatuh di lantai.

Rasa sakit di punggungku tidak sebanding dengan saki di hatiku. Aku hanya bisa menangis. Kenapa hidupku menjadi seperti ini? Aku tak pernah merencakan kesedihan ini. Aku ingin bahagia bersama mereka, keluarga kecilku. Aku ingin menjadi sandaran mereka, aku ingin menjadi orang yang mereka lihat saat mereka membuka mata di pagi hari. Aku ingin tertawa dan menghabiskan waktu bersama mereka. Mengapa itu terasa sulit?

Edgar benar aku memang lemah. Sangat lemah. Butuh waktu yang lama untukku agar aku bangun dari keterpurukkan atas kepergian kedua orang tua ku. Sesaat aku merasa kebahagiaan yang aku inginkan sudah dekat dengan ku. Namun dalam sekejap kebahagiaan itu di runtuhkan.

Ayah, ibu.. Sepertinya aku belum menjadi sorang istri yang baik. Suamiku begitu membenciku. Apa yang harus aku lakukan?

________________________
Udah.

Typo = manusiawi ❤️

Wait? Apa yg aku tulis???
Iya tau ga nyambung.

Aku ga bisa bikin cerita yg nge-feel, maap maap aje.

😂😂😂😂😂😂😂😂😂😂

Aku di buatin cover, btw.

Bagus ga?

See you...





Istri Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang