19. Persiapan

1.6K 151 2
                                    

Ji Min tengah memandangi ponselnya dengan serius. Dilihatnya beberapa kali nama kontak seseorang, namun ia tidak kunjung dapat keberanian untuk menelepon atau bahkan sekedar mengirimkan pesan singkat. Perasaannya saat ini dipenuhi oleh kabut kegelisahan. Dari tadi setelah makan siang dan mendapat kabar bahwa seseorang yang ia tengah pandangi nama kontaknya akan pulang minggu depan ke negara asalnya, Ji Min jadi panik dan tentunya khawatir. Hanya saja ia menutupi itu semua kepada anggota yang lainnya. Kecuali satu orang yang sepertinya sadar dengan perasaan yang Ji Min sembunyikan.

Dia menghampiri Ji Min yang tengah duduk dengan wajah gelisah. "Kau memikirkannya?" Ji Min sempat tersentak kaget karena ucapan yang dilontarkan teman satu grupnya itu. "Hyung, kenapa belum tidur?" ucap Ji Min mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kau tahu aku bukan anak kecil lagi, 'kan. Jadi, apa kau memikirkannya?" Ji Min pasrah dengan Hyung-nya itu. Ia tidak bisa membohongi orang lain. "Kau benar Hyung, aku terus terpikir tentangnya."

"Baiklah, kau sudah dewasa. Tapi kenapa tidak kau jelaskan saja yang sebenarnya?"

"Aku terlalu takut Hyung. Dia pasti akan menolaknya, kau tahu itu." Hyung-nya menatap Ji Min dengan serius. "Kenapa bisa menyimpulkan seperti itu?" Ji Min tersenyum kecut. "Dari wajahnya aku tahu dia mengagumiku. Tapi dari sorot matanya, ada nama lain yang hatinya inginkan."

Baiklah, sekarang Ho Seok tahu apa yang mengganggu pikiran Ji Min, tetapi ia tidak mengerti mengapa Ji Min berkata seperti itu. Bukankah sudah jelas jika Reyna juga menyukainya? Kalian bisa tahu dari sebelum-sebelumnya bukan. Sikap Reyna kepada Ji Min itu beda, dari wajahnya pun sudah terlihat. Namun, dengan sorot matanya, Ho Seok pikir sama saja, memang sih Ho Seok itu bukan penerawang perasaan seseorang.

"Daripada kau terus galau seperti ini, sebaiknya kau meneleponnya. Bertanyalah sedikit tentang kabarnya atau apalah, bukankah dia hanya liburan di sini, 'kan?" Ji Min mengangguk. Ji Min tahu Reyna hanya sekedar liburan di sini dan membantu bibinya. Ji Min lupa dengan ucapan Reyna di cafe waktu itu. Reyna kan sudah memberitahunya jika dia hanya liburan saja, sudah pasti cepat atau lambat dia akan segera pulang. Seperti dalam kabar yang diterima Ji Min tadi siang.

"Benar Hyung."

Ho Seok hanya mengangkat bahunya. "Ya sudah cepat telepon dia, kalau bisa video call." Ho Seok pun beranjak bangun dan berlalu meninggalkan Ji Min di sana. Benar, tidak ada keraguan lagi sekarang ia harus menelepon Reyna, tetapi apa Reyna masih terbangun, ini sudah hampir larut malam. Namun, tidak ada salahnya mencoba bukan. Ya, tidak salah.

Panggilan untuk Reyna tersambung. Jika Reyna tidak mengangkatnya sekarang, mungkin besok Ji Min akan meneleponnya lagi. Namun, nyatanya itu tidak sesuai dengan prasangka Ji Min. Reyna menerima panggilan telepon tersebut. 

"Yeoboseyo," ucap Reyna terlebih dahulu.

"Ah ... Yuki-ah, apa aku mengganggumu?"

"Tidak, memangnya ada apa?"

"Eum, bisakah kita bertemu besok malam? Aku ingin mengatakan sesuatu."

"Aku lihat jadwalku nantinya, kalau bisa aku akan mengirimkan pesan kepadamu."

"Baiklah, selamat malam." Ji Min pun menutup panggilan tersebut. Hatinya saat ini diselimuti dengan rasa gelisah. Masih sama seperti tadi. Oh Tuhan, semoga Ji Min bisa ikhlas.

Reyna memandangi ponselnya. Ji Min baru saja meneleponnya dan mengajaknya bertemu besok malam. Semoga apa yang Ji Min sampaikan nantinya tidak akan membawa kesedihan. Reyna harap begitu. Mengingat sebentar lagi dirinya akan pulang ke Indonesia.

***

Keesokan harinya Reyna sudah siap untuk berangkat ke rumah Shi Young. Ibunya Shi Young mengajak Reyna untuk bermain seharian di sana, mengingat sebentar lagi ia akan pulang. Tentu saja Reyna tidak keberatan, toh ia juga ingin merasakan kebahagiaan bersama keluarga pamannya itu.

"Bi, aku pergi dulu."

"Yuki-chan, bawa ini untuk ibu mertua. Bilang Bibi yang membuatnya, sekarang Bibi bisa membuat kue beras. Bilang juga terima kasih atas resepnya." Reyna terkekeh melihat bibinya yang begitu senang saat dia telah bisa membuat resep yang ibu mertuanya ajarkan.

Reyna jadi ingat keluarganya di rumah. Ah, sebentar lagi ia akan pulang bukan. Jadi tunggu saja.

"Oke, Bi. Kalau begitu aku pergi, dah."

Reyna berjalan ke halte yang tidak jauh dari rumah bibinya. Namun, sebelum dirinya sampai di halte, seseorang menghentikan langkahnya tersebut. "Tunggu sebentar, Nona." Reyna memalingkan wajahnya kepada suara itu. Di sana, ada seorang pria sedikit lebih tua darinya sedang tersenyum menatap Reyna. Reyna yang diberi tatapan dan senyuman seperti itu merasa salah tingkah. "Ada apa, Tuan?" Dia mengulurkan tangannya, memberikan sebuah paper bag.

"Ini, seseorang menitipkannya padaku. Untukmu, Yuki-ssi?" Reyna mengangguk namun tidak menerima paper bag yang pria itu berikan. "Kenapa Tuan memberikannya untukku?"

"Panggil saja Jin Hyuk. Eoh, itu dari penggemarmu." Reyna mengernyitkan dahinya. Mana mungkin ia punya penggemar begitu saja. Oh ayolah jangan bercanda, ini bukan di negaranya, dan ia tidak mengenal banyak orang. Tidak mungkin 'kan, jika ia punya penggemar juga.

"Kau sedang tidak bercanda Jin Hyuk, aku bukan asli sini, kau tahu itu." Jin Hyuk tersenyum. "Itu memang dari penggemarmu. Dia menitipkannya untukmu, Reyna Yuki Nakamoto?" Itu memang benar untuknya. Tapi, siapakah orang yang berbaik hati yang menjadi penggemar rahasianya itu. Reyna sangat ingin bertemu dengannya. "Jadi, siapakah penggemarku itu?"

"Itu rahasia. Terima saja ini, kau mungkin akan mendapatkan jawabannya di sana." Reyna menatap Jin Hyuk. Karena penasaran ia pun menerima paper bag tersebut. "Kalau begitu aku pergi dulu. Semoga harimu menyenangkan Reyna. Annyeong."

"Annyeong." Ditatapnya orang itu sampai ia menghilang di gang kecil. Ia begitu bingung sekarang, siapa Jin Hyuk dan yang paling penting siapakah penggemar rahasianya itu. Semua begitu tiba-tiba dan tentunya membuat Reyna terkejut. Namun, sebelum memikirkan itu semua, sekarang ia harus buru-buru ke rumah Shi Young. Mungkin keluarga pamannya itu sudah menunggu lama. Terbukti dari pesan yang Shi Young kirimkan untuknya. Khawatir namun sedikit mengancam. Benar-benar Shi Young itu, batin Reyna.

***

Sesampainya Reyna di rumah Shi Young, Shi Young menunggunya dengan alis yang bertaut. "Kenapa kau lama sekali? Apa terjadi sesuatu?" Shi Young ini radar pekanya memang tajam. Reyna tidak mungkin bisa berbohong. "Memang," jawab Reyna singkat. Kemudian ia melewati Shi Young begitu saja dan mengetuk pintu.

"Ayolah Yuki, ceritakan. Bukan masalah privasi, 'kan?" Melihat Shi Young menampilkan puppy eyes-nya, Reyna jadi tidak tega.

"Nanti aku ceritakan. Kita mau apa saja hari ini?"

"Sepertinya ngobrol, makan-makan, dan tidur." Reyna menatap Shi Young aneh. "Itu membosankan. Bagaimana jika hari ini kita pergi ke suatu tempat. Bukankah toko ibumu sedang tutup?" Shi Young berpikir sejenak. "Ide yang bagus. Aku akan ajak Eomma dan Appa. Sudah lama mereka tidak pergi liburan, rasanya membosankan pastinya." Shi Young buru-buru menghampiri kedua orangtuanya.

"Eomma, Appa!"

"Annyeong Pama, Bibi."

"Hei, Shi Young-ah ... jangan berteriak seperti itu. Annyeong Yuki-ah." Shi Young terkekeh. "Yuki mengajak kita pergi ke suatu tempat. Daripada bosan dirumah, lebih baik kita jalan-jalan. Bukankah Eomma dan Appa sudah lama tidak pergi jalan-jalan?" Kedua orangtua Shi Young tersenyum.

"Baiklah. Cepat bersiap-siap."

"Baik."

.
.
.
.
.
.
.

To Be Continued

Semoga kalian suka dengan cerita ini. Jangan lupa bintang dan komentarnya.

Salam,
Manusia

Impossible ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang