Sabiya dan Embun Pagi

6.1K 681 38
                                    

"Allah selalu memberikan kebahagiaan sepaket dengan kesakitan. Karena Allah ingin hamba-Nya selalu mengingat-Nya saat suka, dan mengadu pada-Nya saat duka."

-Risalah Rasa-

•••

Malam telah merangkak untuk menemui pagi. Siulan sepasang merpati di dalam sangkar yang terletak di balkon kamar, seakan membangunkan si empunya kamar untuk terjaga dari mimpinya. Namun sayang, rupanya sepasang merpati itu keliru. Gadis cantik bernetra hazel itu telah terjaga dari tidurnya, sejak satu jam yang lalu. Menengadahkan tangannya untuk bermunajat kepada Pemilik Kehidupan. Meminta sedikit saja kebahagiaan singgah, walau hanya sebentar.

Banyak pinta yang telah dia lambung kan. Banyak angan yang telah dia rangkai, dan dia adukan kepada Rabb-Nya.

Memangnya harus kepada siapa lagi kita mengadu, saat semesta seakan menolak? Tidak mungkin kita menengadahkan kepala ke langit, berteriak menyuarakan ketidak adilan sedang langit itu hanyalah ruang kosong hampa udara? Tidak mungkin kita menunduk berucap kepada bumi bahwa kita benci dengan kehidupan, sedang bumi hanyalah tempat berpijak? Berbisik kepada angin dan mengadu kepada hujan pun rasanya sia-sia. Karena hanya Allah tempat sebaik-baiknya mengadu, dzat yang Maha Mengetahui segala isi hati. Perihal ketakutan, kegundahan, marah, dan gelisah yang berkemelut.

Selesai mengaji, Sabiya  melirik sekilas jam weker diatas nakas. Menyimpan kembali Al-Qur'an dan melipat mukena beserta sajadah nya. Langkahnya mengarah ke sebuah kamar yang terletak tepat di depan kamarnya. Membukanya pelan dan masuk dengan perlahan. Di sana, di atas tempat tidur, Zidan terlelap dengan sepatu yang masih menempel di kakinya.

Pulang jam berapa dia?

"Zidan..., bangun!" ucap Sabiya dengan tegas, namun masih belum bisa membangunkan Zidan.

Segelas air putih teronggok di atas meja belajar Zidan.  Sabiya meraihnya dan mencipratkan sedikit airnya ke arah wajah Zidan. Berhasil. Zidan menggeliat dan mulai membuka matanya.

"Apaan sih, Kak? Kebiasaan banget deh, bangunin orang asal ciprat aja," gerutunya.

"Masih mending Kakak cipratin pake air supaya kamu bangun untuk shalat subuh, gimana nanti di akhirat kalo pakai api neraka karena di dunia kamu susah dibangunkan untuk shalat?"

"Ck. Iya, iya. Aku bangun, nih."

Sabiya mengembangkan sedikit senyum saat Zidan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, untuk mengambil air wudhu. Yah, begitulah Zidan. Sekeras apapun hatinya, dia akan tetap luluh jika Sabiya sudah bertindak.

•••

Prang...

Sabiya menolehkan kepalanya ke arah telepon kaleng yang menggantung dengan cantik di pagar balkon kamarnya. Menegakkan tubuhnya yang semula membungkuk, dan meletakkan pakan burung merpati di tempatnya.

Di seberang sana, lebih tepatnya di balkon rumah yang terletak di sebelah rumah Sabiya. Telah berdiri Fikri, dengan cengiran khasnya. Yang sukses menular kepada Sabiya.

"Ada apa?" tanya Sabiya, menggunakan kaleng yang telah tersambung dengan kaleng di genggaman Fikri menggunakan bola kasur. Mulai mengarahkan kaleng ke telinganya untuk mendengar ucapan Fikri.

"Jangan lupa kasih makan Lala sama Lili."

"Kamu tidak usah mengingatkan ku. Aku sudah memberi makan mereka," ucapnya sembari menunjuk sepasang merpati yang tengah memakan jatah makannya.

"Aku cuma mengingatkan. Kamu kan pelupa."

"Ish..."

Dapat terdengar kekehan Fikri oleh Sabiya. Sabiya hanya mendengus sebal pada sahabat sekaligus tetangga rumahnya itu. Sahabat sedari kecil yang selalu setia usil padanya.

Risalah Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang