بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
•••
"Kini, saat benar-benar aku pasrah kan semua perihal takdir kepada-Nya yang Maha Mengetahui segala isi hati. Tidak ada lagi risau dalam benak, tidak ada lagi kegundahan dalam dada. Karena ternyata seperti itulah caranya ikhlas bekerja. Memberikan ketenangan dan kenyamanan dalam kalbu, agar tidak kembali berduka."
-Risalah Rasa-
•••
Sabiya menerima kotak kayu itu dengan hati yang berkecamuk. Di luar, hujan turun dengan derasnya. Suara katak saling bersahutan meneriakkan kegembiraannya, menyambut rahmat Allah yang turun lewat tetes demi tetes hujan.
"Allahumma shoyyiban nafi’an"
Semoga Allah anugerahi hujan yang bermanfaat, bagi kehidupan seluruh alam.
Hujan deras turun di luar rumahnya, namun gemuruh itu hadir dalam hati Sabiya kala tangannya mulai membuka kotak kayu itu. Zidan yang mulanya duduk di seberang Sabiya, segera beralih merapat ke arah sang Kakak. Duduk lesehan sejajar dengan kaki Sabiya. Pandangannya tak lepas dari kotak kayu yang ada di pangkuan Sabiya. Hatinya pun harap-harap cemas, menanti Sabiya membukanya dan segera mengetahui isinya.
"Album foto?" ucap Sabiya setelah membuka kotaknya.
Rendra mengangguk, "itu album foto dari awal kisah ayah sama ibu."
Perlahan Sabiya membuka album foto itu, netranya terfokus pada sosok wanita yang tengah tersenyum bersama seorang lelaki dengan saling menggenggam erat. Di bawah foto itu bertuliskan, "The beginning of our journey".
Foto itu adalah foto pernikahan orangtuanya. Hal itu bisa disimpulkan hanya dengan melihat kebaya yang melekat pada sosok yang Sabiya yakini adalah ibunya. Foto sederhana yang menggambarkan kebahagiaan. Foto sederhana yang menjadi bukti awal perjalanan hidup pernikahan Rendra dan Marwah.
"Cantik..." ungkap Sabiya mendeskripsikan rupa sang ibu.
Rendra membenarkan hal itu. Marwah memang wanita yang cantik, bukan hanya rupa, tapi juga hatinya.
Sementara Zidan hanya diam membisu, bingung harus berkata apa. Ini semua bagaikan mimpi yang menjadi nyata, antara percaya dan takut jika semua hanyalah semu.
Namun, di tengah haru yang Sabiya rasakan. Hatinya merasa aneh dengan foto pernikahan orangtuanya. Bukankah ini terlalu sederhana jika yang menikah adalah anak dari seorang pengusaha sukses seperti kakeknya? Lagi, hatinya kembali bertanya, mengapa tidak ada potret keluarga besar ayahnya maupun ibunya? Memang, selama ini Sabiya tidak tahu menahu perihal keluarga dari sang ibu, bahkan kampung halaman ibunya saja dia tak mengetahui, apalagi tentang kakek dan nenek dari pihak ibu, Sabiya dan Zidan benar-benar tidak tahu. Semua hal tentang ibunya tidak ada yang mereka tahu, terkecuali hanya nama saja.
"Kenapa di foto pernikahan Ayah dan Ibu tidak ada kakek dan nenek ataupun keluarga yang lain?" tanya Sabiya.
Rendra menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Mata yang telah dikelilingi oleh keriput itu menerawang jauh, menatap langit-langit putih dengan pandangan yang nyalang. Di sini, dia tengah berusaha menata hati, sebelum memulai ceritanya, membuka kembali memori delapan belas tahun silam untuk kembali dia ceritakan kepada kedua anaknya.
![](https://img.wattpad.com/cover/163174746-288-k888312.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Risalah Rasa [SELESAI]
EspiritualAidah Sabiya Marwah, gadis bernetra hazel dengan keindahan yang terpahat dalam parasnya. Hidup hanya dengan ayah dan adiknya, membuat Sabiya tumbuh dengan kasih sayang yang rumpang. Kebencian melegam dalam hati Sabiya, kepada sosok yang telah melahi...