Ruang Nostalgia

2.8K 410 37
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

"Allah... Aku malu saat syukur tak pernah ku panjatkan, namun nikmatmu mengalir selalu. Allah... Aku malu saat hatiku selalu mengeluh, namun pertolonganmu hadir selalu. Allah.... Aku sungguh malu."

-Risalah Rasa-

•••

Lembayung jingga yang telah melambai mengucap perpisahan pada langit, ronanya mulai menghilang digantikan gelapnya mega, pertanda bahwa malam mulai menyapa.

Lantunan suara adzan lewat sepiker masjid mulai mengalun merdu, menyeru kepada seluruh umat muslim agar segera berhenti dari segala macam urusan duniawi dan segera mengurus urusan akhirat.

Begitupun dengan Zidan, dia mematut kembali penampilannya di depan cermin sembari memakai kopiah andalannya yang berwarna coklat gelap. Melaksanakan shalat berjamaah di masjid terdekat sudah menjadi agenda rutin nya setiap hari, terkecuali memang jika dia sedang dalam keadaan yang kurang sehat ataupun hal lain. Didikan Rendra yang keras terhadapnya kini telah membuahkan hasil. Mendoktrinnya agar selalu melaksanakan shalat berjamaah di masjid, karena memang itulah kewajiban bagi seorang laki-laki, untuk memakmurkan masjid.

Setelah dirasa sudah rapi, Zidan mulai keluar dari kamarnya. Ketipak langkahnya yang menuruni anak tangga menyorot perhatian Rendra yang juga baru keluar dari kamarnya untuk shalat berjamaah di masjid. Pandangan mereka bertemu, ada kecanggungan yang mendominasi. Namun, sebisa mungkin Zidan enyahkan. "Inget rencana lo, Zidan!" sugestinya dalam hati.

"Mau shalat berjamaah di masjid juga?"

Zidan mengangguk, menjawab tanya dari Rendra. Tak lama, mereka segera berlalu, melangkah beriringan menuju rumah Allah untuk beribadah.

Interaksi itu tak luput dari pandangan Sabiya yang berada di dapur setelah mengambil air minum, membuat bibir tipisnya terkulum indah. Sungguh pemandangan yang langka. Mendadak dia menyesal karena tidak mengabadikan momen itu lewat lensa ponselnya.

•••

Dalam diamnya, pikiran Zidan tertawan akan kenangan masa kecilnya. Dimana dia yang saat itu sangatlah malas untuk shalat subuh berjamaah di masjid. Alasannya sangat klasik, "Idan masih ngantuk, Ayah..." seperti itulah rengekannya saat Rendra memaksanya untuk tetap melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid. "Idan shalat di rumah aja, ya... Idan janji ,ko, bakalan shalat. Suer deh, Idan gak bakalan boong," lanjutunya lagi. Namun sekeras apapun Zidan memaksa, maka akan sekeras itu pula Rendra teguh pada pendiriannya. Bagi Rendra, tak apa semasa kecil Zidan diajarkan dengan keras seperti ini, toh hasilnya juga akan terlihat jika dia sudah dewasa. Karena sudah terbiasa lama-lama akan menjadi kebiasaan. Dan terbuktilah hasilnya bisa dilihat sendiri saat Zidan sudah beranjak remaja, sebisa mungkin dia akan melaksanakan shalat secara berjamaah di masjid. Meski pada kenyataannya manusia memang tidak ada yang sempurna, Zidan pun terkadang masih suka shalat sendiri di rumah.  Rendra bersyukur karena upayanya selama ini tidak mengecewakan.

"Sudah lama kita gak jalan bareng ke masjid kaya gini," ucap Rendra memecahkan keheningan.

Zidan hanya mengangguk, ingatannya pun kembali tertawan pada kenangan masa kecilnya.

Setelah mengeluarkan upaya rengekkannya yang tidak membuahkan hasil, Zidan kecil tetap berangkat shalat subuh berjamaah dengan ayahnya asalkan dengan satu syarat, "Idan mau ke masjid, tapi gendong ya, Ayah! Idan masih ngantuk, belum kuat jalan. Nanti kalo jatuh gimana?" dan Rendra hanya akan menyahutinya dengan sebuah anggukan dan bersiap memasang punggungnya untuk putra tercinta. Sepanjang jalan, Zidan kecil terus melontarkan protesan kepada Rendra, " kenapa Ka Biya gak Ayah suruh buat shalat berjamaah di masjid juga?" atau "kenapa Ka Biya boleh shalat di rumah, tapi Idan enggak?"

Risalah Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang