Menggantungkan Harap

2.9K 404 24
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra'd : 11)

-Risalah Rasa-

•••

Sabiya merebahkan tubuhnya di atas pembaringan setelah selesai mandi. Jam di kamarnya sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Sudah tidak baik untuk mandi sebenarnya, hanya saja Sabiya merasa badannya sangat lengket dan tidak nyaman, jadi lah dia memutuskan untuk tetap mandi.

Pikirannya melayang. Memutar kembali reka adegan yang dia lalui seharian ini. Cukup melelahkan, membuatnya ingin segera menyelami alam mimpi.

Namun, saat Sabiya usai membaca doa sebelum tidur lengkap dengan ayat kursi, surah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq, dan surah An-Nas kemudian kelopak matanya mulai menutup secara perlahan. Sebuah ketukan di pintu mengagetkannya. Hingga membuat dia harus rela menunda terlebih dahulu keinginannya untuk tidur.

Siapa gerangan yang mengetuk pintu? Karena biasanya jika sang ayah yang akan menemuinya, dia akan langsung masuk tanpa terlebih dahulu mengetuk nya.

"Masuk!" serunya karena enggan untuk beranjak dari rebahan nya.

Zidan menyembul dari balik pintu dengan setelan baju tidur.

"Tumben malem-malem ke sini," ujar Sabiya.

"Yeee..., suka-suka lah!" seru Zidan.

"Ada apa?" tanya Sabiya langsung pada intinya, karena dia sudah tak kuasa lagi menahan kantuknya lebih lama.

"Duduk dulu ke, Ka!"

Dengan malas Sabiya mengikuti perintah adiknya. Dia menyenderkan punggungnya pada kepala ranjang, dan mulai berusaha fokus pada apa yang akan Zidan sampaikan.

"Udah, nih. Buruan mau ngomong apa? Kakak udah ngantuk!"

Zidan terlebih dahulu membenarkan posisi duduknya. Bersila menghadap Sabiya. Manik mata setajam elang nya mulai menatap netra hazel milik Sabiya. Pembicaraan kali ini, terbilang cukup serius jika ditilik dari gelagat Zidan.

"Kakak pernah kepikiran gak, buat nyari tahu keberadaan ibu?" tanya nya mulai serius.

Sabiya menaikkan sebelah alisnya, "buat apa?"

Zidan menghela napas lelah. Jika sesuatu yang berkaitan dengan ibu mereka, Sabiya pasti selalu acuh tak acuh. Tidak sepertinya yang akan bersemangat untuk mengungkap ada apa sebenarnya di balik kepergian sang ibu.

"Emang Kakak gak kepengin ketemu ibu apa?"

"Buat apa? Keputusan ibu adalah pergi, kita bisa apa?"

Zidan mulai menghela napas gusar, berusaha menahan gejolak emosi dihatinya. Maklum, jiwa muda. Belum ranum, selalu melibatkan emosi dalam segala perkara.

"Ya setidaknya kita tahu alasan dibalik kepergian ibu," jeda tiga detik, "coba tanya ke dalam hati terdalam Kakak. Pasti ada, kan, sedikit aja rasa ingin tahu meski rasa ketidak sukaan lebih mendominasi. Aku bisa jamin itu!"

"Iya...., iya.... Kamu bener! Tapi mau gimana lagi, semuanya harus seperti ini. Kita tidak bisa merubah takdir," debat Sabiya.

"Cobalah buat berdamai dengan diri Kakak sendiri, Ka. Aku yakin, kepergian ibu memang sudah takdir mubram dari Allah yang sudah tidak bisa dirubah. Tapi Kakak harus ingat, bahwa ketidak tahuan kita tentang alasan dibalik ibu pergi, itu takdir muallaq yang masih bisa kita rubah dengan berusaha dan ikhtiar," jelas Zidan. Melihat Sabiya yang hanya diam mematung melihatnya, emosi Zidan mulai luntur. Dia yakin misinya kali ini akan berhasil, hanya butuh sedikit lagi kerja keras untuk meyakinkan kakanya. Setelah itu, apa yang selama ini membebani pikirannya, akan terangkat. Yah, Zidan yakin itu!

"Oke!" putus Sabiya. "Kita akan cari tahu dimana sebenarnya keberadaan ibu, dan apa alasan ibu pergi."

Senyum Zidan tercetak. Sedikit lagi..., sedikit lagi dia akan berhasil. Yes! Serunya dalam hati.

"Kalo gitu, sekarang kita susun rencananya.  Mencari tahu info awal tentang ibu."

Sabiya berusaha berpikir. Hatinya luluh untuk bisa berdamai seperti apa yang adiknya katakan. Semoga ini awal yang baik. Karena sebenarnya beban yang ada pada diri Zidan juga teronggok pada dirinya. Membuat langkahnya sangat berat dalam menapaki hidup. Mungkin, dengan berdamai semuanya akan terasa lebih ringan. Walau mungkin jalan yang ditapaki tidak akan semulus yang dia inginkan. Setidaknya dia sudah berani mencoba, daripada tidak sama sekali. Jikalau nanti hasilnya tidak sesuai apa yang dia harapkan, setidaknya ada kebanggan tersendiri dalam hatinya karena telah mencoba.

"Kamu cari info dari ayah aja," usul Sabiya.

"Aku juga berpikir nya gitu. Tapi..., aku yakin ayah pasti akan menutup-nutupinya," sahut Zidan.

Sabiya mengerlingkan matanya, ternyata Zidan tidak sepaham dengannya. "Maksud Kakak itu dengan cara yang halus, Dek. Jangan langsung to the point. Kalo itu sih kakak juga tahu bakal gagal," jelasnya.

Zidan mengangguk paham. "Yasudah, coba Kakak cari tahu."

"Lho, ko kakak, sih?"

"Ya iya lah, siapa lagi? Kan selama ini yang lebih deket sama ayah Kakak."

"Ya kamu coba juga, dong. Kan kamu sendiri yang bilang sama kakak kalo kita harus berdamai dengan diri kita sendiri. Jadi, kesampingkan juga tuh ego kamu. Akur-akur deh sama ayah."

Zidan mendengus kesal. Kalo ini sih namanya senjata makan tuan, batinnya.

"Yaudah, gini aja. Kita nyoba sama-sama aja. Gimana, deal?" usul Sabiya karena tidak tega melihat muka masam Zidan.

Seketika Zidan tersenyum cerah. "Nah, gitu, dong. Kalo gitu aku, deal!" sahut Zidan dengan membalas uluran tangan Sabiya. Bersalaman perlambang persetujuan.

"Dek," panggil Sabiya setelah melepaskan salaman nya.

"Hmm..."

"Kakak cuma mau pesen sama kamu. Jangan terlalu menggantungkan sebuah harap terlalu tinggi. Bukan perihal jatuhnya yang akan sakit. Namun, jika Allah sudah tidak ridha, kita bisa apa?"

Zidan tersenyum samar dengan sebuah anggukan. Ini yang tidak ingin dia bahas. Kegagalan. Namun, karena takut akan kegagalan hanya akan membuat langkah menjadi berat dan tertatih-tatih. Maka dari itu dia harus yakin dan optimis jika semuanya akan terungkap. Jikapun nantinya gagal. Toh, dia sudah pernah mencoba. Dan mungkin dia akan terus bangkit untuk kembali berjuang. Apa istilahnya? Jatuh bangun? Yah, mungkin itulah yang sekarang Zidan tanamkan dalam dirinya. Gagal untuk kembali bangkit, dan bangkit untuk kembali menang. Laa hawla wa laa quwwata illa bil-laah... Allah Maha melihat setiap usaha hamba-Nya. Jangan takut untuk berjuang sendiri, karena masih ada Allah yang selalu setia membersamai.

Allah is always be with you.

•••

Halo... Adakah yang mencari RiSa seminggu ini?

Hihihi maaf ya minggu kemaren gak sempet apdet😁

O, iya... Semangat buat yang lagi UNBK🙌 semoga selalu Allah beri kelancaran dan kemudahan. Semangat juga yang mau UNBK minggu depan. Tetap jaga kesehatan, ya... Satu tahap lagi terselesaikan :')

Jangan lupa selalu ingatkan aku jika ada kesalahan😊

Ketjup jauh FinaSundari 💙

26-03-2019

Risalah Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang