Namanya Fawwaz

2.9K 420 20
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

•••

"Perihal hidayah, itu bukan seberapa kamu sabar dalam menunggu. Namun, perihal seberapa kamu berusaha untuk meraih, lalu menggenggamnya dalam keistiqamahan."

-Risalah Rasa-

•••

Setelah lelah berkeliling, di sini lah sekarang mereka berada. Di sebuah ruangan dengan berbagai macam peralatan memasak yang kumplit di dalamnya, karena memang sang nyonya yang berkuasa di rumah ini hobi sekali memasak.

"Kita mulai dengan apa dulu, Bun?" tanya Sabiya yang memang sudah siap dengan celemek andalannya yang berwarna merah muda, pemberian Fikri.

"Kamu cuci dulu sayuran nya, ya!"

"Asiaap!" serunya dengan semangat, karena memang dari berbagai macam kegiatan yang dilakukan bersama Rumi, ini merupakan salah satu favorit nya, memasak bersama. Tidak jarang juga, mereka akan menghabiskan akhir pekan dengan menjajal resep-resep makanan, baik itu yang bertemakan makanan khas daerah maupun internasional food.

"Assalamualaikum..., Bunda..., Ka Biya...."

Dengan refleks Sabiya mengarahkan pandangannya ke arah sumber suara, bersamaan dengan dia dan Rumi yang menjawab salam.

Dari arah pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur, terlihat Salsa yang tengah melangkah ke arah mereka dengan cengiran khasnya. Bocah berumur sepuluh tahun itu tetap ceria meski peluh sudah membanjiri keningnya, bahkan beberapa anak-anak rambut pun sudah menyembul dari balik khimar yang dia kenakan.

Setelah menyalimi Rumi dan Sabiya, Salsa mendudukkan diri di kursi pentry. Meneguk segelas air mineral, setelah sebelumnya mengucap bismillah.

"Bunda mau masak banyak, ya?" tanya nya setelah dahaga yang dirasa sudah terobati.

"Iyaa. Kan nanti Bang Fawwaz mau dateng ke sini."

Seketika manik mata Salsa berbinar, senyumnya semakin mengembang, menunjukkan seberapa bahagianya bocah itu karena mendengar kabar kedatangan sang kakak yang sudah lama dia rindukan.

"Beneran, Bunda?" tanya nya kembali untuk memastikan bahwa bundanya tidak tengah berbohong.

"Beneran, Sayang. Buat apa bunda bohong, kan dosa."

"Asikkkk..., Bang Fawwaz ke sini... Bang Fawwaz ke sini...," soraknya dengan bahagia.

Sabiya yang ikut merasakan euforia yang dirasakan Salsa, ikut mengembangkan senyumnya. Angannya seketika mengarah pada sosok Fawwaz. Seperti apa gerangan sosok itu sampai-sampai gadis kecil di hadapannya ini sangat begitu antusias menyambut kedatangannya.

Pasti sosok yang termasuk menyenangkan, batin Sabiya.

"Astagfirullah hal adzim...," Sabiya seketika beristighfar saat pikirannya dengan lancang membayangkan seseorang yang seharusnya tidak dia bayangkan.

"Kenapa, Bi?" tanya Rumi yang mendengar rapalan istighfar dari Sabiya.

Sabiya yang mendapatkan pertanyaan seperti itu merasa kikuk, bingung harus menjawab apa.

Masa iya aku harus jawab kalau aku habis memikirkan anak sulungnya, batinnya menyeru tak setuju.

"Eemm..., gak apa-apa, Bun. Biya cuma lupa belom menghubungi Zidan," kilahnya.

Dalam hati Sabiya memohon beribu ampun kepada Allah karena telah berbohong.

Lagi, Sabiya merasa takut jika kebohongan yang baru saja dia lakukan akan menjadi pembuka untuk kebohongan-kebohongan selanjutnya. Naudzubillah himindzalik.

"Oh, ya udah kamu suruh Zidan sekalian buat makan malem bareng di sini," usul Rumi yang tentunya Sabiya tolak dengan halus.

"Gak perlu, Bun. Biar nanti Biya sama Zidan makan malem di rumah aja."

"Suutt! Gak ada penolakan!"

Dengan patuh karena tidak ada upaya lagi untuk menolak, Sabiya menganggukkan kepalanya dan mulai mengeluarkan ponsel pintarnya untuk menghubungi Zidan yang semula hanya omong kosong belaka.

Zidan

Nanti malem makan malem di rumah?

Tidak berselang lama, karena status Zidan yang tertera sedang online, Sabiya mendapatkan balasan.

Zidan

Zidan makan di luar, Ka. Sama temen-temen.

Ok. Sabiya langsung menonaktifkan data selulernya dan kembali mengantongi ponselnya. Zidan memang jarang makan di rumah, hal itu sudah tidak aneh lagi.

"Zidan makan di luar sama temen-temennya, Bunda," ucap Sabiya.

"Oalah anak itu, ya wes gak papa," jawab Rumi dengan logat jawa nya yang kental, karena memang dia asli orang jawa.

Tidak berselang lama dari itu, terdengar kembali suara salam dari arah pintu dan muncul lah Fikri dengan wajah lelahnya. Mungkin karena capek seusai futsal.

"Widiiih..., suka nih kalo masak besar kaya gini. Mantap!" komentarnya.

Sabiya hanya menyebikkan mulutnya ke arah Fikri yang dibalas oleh Fikri dengan menjulurkan lidahnya.

"Kamu mandi dulu sana, Bang! Bau matahari," perintah Rumi.

"Meski bau matahari, tapi masih tetep ganteng kan, Bun?" tanya nya dengan tengil.

"Terserah kamu aja lah, Le..."

•••

Setelah berbagai macam hidangan untuk penyambutan Fawwaz telah rampung. Di sini lah sekarang mereka berada, di sebuah meja makan dengan enam orang di dalamnya. Ada Hendrik yang duduk sebagai kepala keluarga, Rumi sebagai sang permaisuri yang cantik meski telah berumur, Fikri dengan gaya selownya, Salsa dengan air muka bahagia, sosok baru yang belakangan ini Sabiya ketahui bernama Fawwaz, dan juga dirinya yang terduduk canggung.

Untuk saat ini Sabiya merutuki keputusannya yang menyetujui ajakan Rumi untuk ikut makan malam bersama. Karena saat ini, keadaan sangatlah kaku. Berbeda dari ekspektasinya yang telah melambung jauh. Hah! Selalu seperti itu memang saat kita sudah berangan lebih, selalu realita tidak sesuai ekspektasi.

Otak Sabiya tengah mencerna baik-baik untuk dapat mengetahui apa gerangan yang membuat suasana menjadi begitu kaku. Semenjak kedatangan Hendrik di meja makan ikut bergabung bersama mereka, atmosfer di sekitarnya seketika berubah. Tidak lagi ada canda yang hadir, karena semuanya memilih bungkam. Terutama, Fawwaz.

"Kamu, apa kabar?" tanya Hendrik yang ditunjukkan kepada Fawwaz.

Lelaki berperawakan jangkung itu mengangguk sembari menjawab, "alhamdulillah baik, Pah."

Percakapan yang terdengar kaku itu menjadi tanda tanya besar untuk Sabiya. Kenapa interaksi seorang anak dengan orangtua bisa secanggung itu? Bahkan Zidan yang jarang berbicara dengan ayahnya saja masih bisa tetap santai jika mengobrol dengan ayahnya.

"Bun, kapan makannya? Laperrr...," rajuk Fikri dengan tampang memelasnya.

"Ya sudah, sekarang kita mulai makan. Fawwaz, Bunda sudah masakin makanan kesukaan kamu, kamu harus makan yang banyak! Kamu juga Bi, ayo makan! Gak usah sungkan," seru Rumi dengan semangat.

Sabiya hanya bisa mengangguk kaku. Saat ini juga ingin rasanya Sabiya meminjam pintu kemana saja Doraemon agar bisa memindahkannya dari ruangan yang terasa canggung ini.

Siapapun...., tolong Biya......

•••

Syukron katsiir yang sudah berkenan membaca dan mendukung cerita ini. Jangan lupa selalu ingatkan aku jika ada kesalahan dalam penulisan, ya! Sampai jumpa di part selanjutnya :)

Ketjup jauh FinaSundari 💙

12-03-2019

Risalah Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang