بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
•••
"Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi."
(QS. Al-Munafiqun: 9)•••
Setelah dirasa Zidan sudah cukup tenang, dan tenggelam dalam mimpinya. Sabiya melangkah keluar dari kamar Zidan, menutup pintunya perlahan agar tidak mengganggu tidur Zidan. Sabiya menghela napas lelah, sampai kapan cobaan ini akan berakhir?
Dengan lesu, Sabiya menuruni anak tangga untuk mencapai lantai dasar. Membelokkan langkahnya menuju sebuah kamar bercat coklat, kamar ayahnya.
Tok...tok...tok...
"Boleh Biya masuk?"
"Masuk aja, Bi."
Ketika pintu dibuka, netra Sabiya disuguhi dengan sorot lampu yang temaram. Tidak ada penerangan yang benderang, karena ayahnya tidak menyukainya saat terlelap.
Dengan pencahayaan yang ala kadarnya, Sabiya melihat ayahnya menyimpan sesuatu di dalam laci. Sebuah benda yang sudah sering Sabiya lihat berada dalam genggaman ayahnya, namun selalu ayahnya larang ketika Sabiya bertanya ingin mengetahuinya.
Sabiya paham, ayahnya pun membutuhkan privasi meski kepada anak-anaknya. Karena semua orang memiliki zonanya masing-masing untuk tidak dijamah oleh orang lain, meski itu oleh orang terdekatnya sekalipun.
"Ada apa, Bi?" Tanya ayahnya dengan suara sedikit serak, membuat batin Sabiya bertanya-tanya, apakah ayahnya menangis?
Sabiya memilih untuk mendudukkan dirinya terlebih dahulu di samping ayahnya. Pandangannya mengarah kepada wajah sang ayah yang terlihat kuyu. Terdapat jejak-jejak air mata di sudut matanya, membuat tanya yang berkecamuk dipikirannya terjawab sudah.
Paham dengan suasana hati sang ayah yang tengah kelabu, Sabiya memeluk Rendra perlahan. Menyandarkan kepalanya kepada dada bidang ayahnya yang mulai menua. Tempat berlindung nya selama kurang lebih tujuhbelas tahun ini.
"Ayah merasa gagal." Sabiya lebih memilih diam, mendengarkan keluh kesah ayahnya untuk mencoba memahami isi hatinya. "Ayah merasa gagal mendidik Zidan. Zidan yang ayah harapkan akan tumbuh menjadi anak yang baik, malah tumbuh menjadi anak yang selalu membuat onar."
"Zidan mempunyai alasan kenapa dia berantem, Yah. Tidak semuanya salah Zidan," jeda sepersekian detik Sabiya gunakan untuk menormalkan detak jantungnya. "Terkadang, semua tingkah Zidan semata-mata hanya untuk menarik perhatian Ayah. Agar Ayah bisa memberi perhatian lebih untuk Zidan."
"Apa semua yang ayah beri untuk Zidan masih kurang, Bi? Ayah sudah mencoba memberikan semua yang terbaik untuk kalian, ayah turuti semua apa yang kalian inginkan. Apa masih kurang cukup?"
"Yah, terkadang seorang anak tidak hanya butuh materi, melainkan kasih sayang. Sebanyak apapun materi yang Ayah beri untuk kami, masih akan kalah dengan kasih sayang dan perhatian Ayah."
"Tapi kalian pasti tahu, alasan mengapa ayah tidak memberikan perhatian sepenuhnya kepada kalian. Karena ayah memiliki tanggungjawab untuk menafkahi kalian."
Sabiya merenggangkan pelukannya, untuk mencoba menatap ayahnya. Hatinya merasa gamang dengan percakapan ini.
"Apakah harus dengan mengorbankan semua waktu Ayah? Apakah sesibuk itu pekerjaan yang Ayah lakoni sampai-sampai disaat akhir pekan dan hari liburpun Ayah lebih memilih untuk tetap kerja?"
"Banyak tanggungan yang harus Ayah penuhi, Bi. Tolong mengerti!"
"Tanggungan apa, Yah? Karena Sabiya rasa dengan Ayah bekerja sewajarnya pun bisa mencukupi kebutuhan kita, tidak perlulah sampai mengorbankan semua waktu Ayah." ucap Sabiya dengan emosi yang sudah tersulut. "Kami butuh Ayah untuk berada di samping kami."
"Banyak hal yang tidak kamu tahu, dan belum saatnya kamu tahu." Rendra mengatakannya masih dengan intonasi yang tenang, meski sang putri sudah mulai tersulut emosi dan air mata yang mulai menetes. Rendra harus tegar, tidak boleh goyah hanya dengan melihat air mata Sabiya.
"Kalo begitu, beritahu Sabiya hal apa yang tidak Sabiya ketahui. Sabiya sudah cukup dewasa."
"Bi...," Rendra mencoba untuk meraih tangan puterinya, menggenggamnya erat untuk menyalurkan sedikit kekuatan agar apa yang selama ini ia pertahankan tidak goyah. "Terkadang, kamu hanya perlu mengetahui sekadarnya saja. Biar ayah yang menanggung beban ini tanpa membaginya padamu. Kamu masih terlalu ringkih untuk menghadapi semesta yang terkadang menyakitkan."
Sabiya melepaskan tangannya secara paksa, "Zidan bener, Ayah terlalu egois untuk menyimpan semuanya sendiri."
Menghapus air matanya secara kasar, Sabiya segera berlari keluar dari kamar Rendra. Langkah cepatnya mengarah ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua. Naas, ketika akan menaiki anak tangga dengan rusuh, Sabiya terjerembab jatuh saat tersandung vas bunga besar di samping tangga. Dengan sedikit tertatih Sabiya mencoba bangkit, meski menahan ngilu di pergelangan kakinya. Air matanya kembali mengalir dengan deras. Kenapa disaat-saat seperti ini dirinya sangat cengeng? Kenapa disaat-saat seperti ini dia sangat mengharapkan hadirnya sosok ibu, padahal sebelumnya dia sangat membenci ibunya karena telah meninggalkan keluarganya.
Meski dengan langkah yang terseok-seok, Sabiya berhasil mencapai kamarnya. Setelah menguncinya dari dalam, Sabiya segera merebahkan tubuh ringkihnya di atas pembaringan. Rasa ngilu yang semula dia rasa di pergelangan kakinya dia abaikan, karena ngilu di lubuk hatinya lebih menyayat dan mendorong air matanya untuk kembali merebak.
Oh, Allah... Mengapa sakit sekali?
•••
Sementara itu, Rendra yang melihat kepergian anaknya dengan segudang kekecewaan, hanya bisa menangis tertahan. Pada saat seperti ini membuatnya merasa ada pada titik terendah. Melihat puteri tercintanya menangis karena ketidak sanggupannya, membuat Rendra merasa menjadi ayah yang paling tidak berguna. Bukan nya memberi rasa aman, dia malah memberi rasa sakit. Apakah wajar hal itu terjadi antara ayah dan anak?
Marwah...
Hanyalah nama itu yang selalu dia gumamkan setelah rapalan istighfar berulang kali dia ucapkan.
Saat ini dia membutuhkan Marwah, ibu dari anak-anaknya. Namun bagaimana jika Allah menakdirkannya untuk mengurus buah hatinya hanya seorang diri? Tiadalah daya untuk dia memprotes takdir Yang Maha Kuasa atas kehidupannya. Karena dia yakin, semuanya mempunyai waktu, dan semuanya memiliki waktu yang tepat. Akan ada saatnya dia tersenyum bahagia bersama kedua anaknya dan juga..., Marwah. Kekasih hatinya.
•••
Adakah yang kemarin jumat merasa kehilangan RiSa karena tidak up? (Kali aja ada yang nyariin. Whahahaa😂)
Maaf ya, karena ketidak sanggupanku kemarin jumat RiSa tidak bisa update. Dan insyaallah sebagai gantinya sekarang aku update dua kali.
Siapa yang masih menanti RiSa?
Ketjup jauh FinaSundari
12-02-2019

KAMU SEDANG MEMBACA
Risalah Rasa [SELESAI]
EspiritualAidah Sabiya Marwah, gadis bernetra hazel dengan keindahan yang terpahat dalam parasnya. Hidup hanya dengan ayah dan adiknya, membuat Sabiya tumbuh dengan kasih sayang yang rumpang. Kebencian melegam dalam hati Sabiya, kepada sosok yang telah melahi...