Khitbah Untukmu

3.8K 443 99
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

"Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati."

-HR. Muslim-

•••

Malam sehari sebelum Sabiya mendapat pesan dari Marwah. Seorang lelaki tengah duduk bersimpuh di hadapan bundanya, orangtua satu-satunya. Dia telah mengutarakan semuanya.

"Kamu yakin, Bang?" tanya sang Bunda yang ternyata adalah Rumi.

"Yakin, Bun."

"Bunda tahu kamu sudah cukup dewasa. Dan Bunda akan dukung kamu. Biar nanti Bunda yang bicara sama papah."

Lelaki yang Rumi panggil dengan sebutan Abang itu tersenyum hangat, dan segera memeluk sang bunda.

"Makasih, Bun."

Rumi hanya mengangguk dengan mata yang berkaca. Tidak menyangka, bahwa anak yang selama ini jauh dari dekapannya, ternyata sudah cukup dewasa. Tumbuh menjadi lelaki tangguh. Bahkan, dengan ketekadan hatinya sendiri anaknya itu meminta restu nya untuk meminang seorang gadis. Wallahi..., dia belum pernah bermimpi akan ada pada tahap ini. Namun anak lelakinya justru sudah merealisasikan nya terlebih dahulu.

"Inget, Bang. Meminang anak gadis orang bukan hanya untuk hidup dengan cinta, namun Abang juga harus menghidupinya dengan nafkah yang cukup. Bunda yakin, Abang sudah mampu untuk itu."

"Sekali lagi, makasih ya, Bun."

"Sama-sama. Sekarang kamu persiapkan semuanya. Termasuk hati kamu."

"Iyaa..."

Setelah mengutarakan niat baiknya. Hatinya kini telah lega. Dan mulai meninggalkan kamar sang bunda untuk menuju kamar yang semula ia huni. Namun, tepat saat membuka pintu kamar Rumi, di sana ada sosok orang yang sangat dia kenal tengah menatapnya dingin.

"Lo yakin dengan keputusan, lo?"

"Lo nguping?" tanya nya balik dan menimpali dengan  mengikuti cara bicara lawannya.

"Iya, gue nguping. Apa lo serius?"

"Gue udah sampe mengutarakan nya ke Bunda, dan pastinya gue serius."

Lawan bicaranya itu tersenyum kecut sebelum berucap, "rupanya gue udah ketikung lagi."

"Apa lo juga suka sama Sabiya?"

"Gak usah nanya, pun, seharusnya lo udah tahu, jika melihat bagaimana gue memperlakukan gadis itu."

Ditepuknya bahu saudaranya itu sebentar. "Sorry, tapi untuk kali ini gue gak bakalan mundur." Dan sejurus kemudian, dia berlalu meninggalkan lawan bicaranya yang mematung kaku.

•••

Senja menyapa, pada kaca-kaca jendela yang berdebu. Sore telah menyongsong, mengudarakan hangat yang mulai terasa. Pikirannya masih rancu, memikirkan "tamu penting" yang sejak tadi selalu terucap dari bibir ibunya. Setiap bertanya, pasti selalu jawaban, "nanti juga kamu tahu," yang dia dapat. Sampai jengah rasanya untuk bertanya kembali. Bibirnya sudah keburu pahit untuk berucap. Yang dia lakukan hanyalah menenggak segelas air putih untuk menetralisir perasaannya.

Risalah Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang