Sisi yang Rapuh

2.7K 418 58
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

Sebelum membaca chapter ini, disarankan untuk diresapi setiap katanya, memutar lagu di atas, dan menyediakan tisu.

Selamat membaca :)

•••

"Perihal luka tak perlu diumbar, karena tak sedikit dari mereka yang lebih memilih tak acuh, dibanding acuh."

-Risalah Rasa-

•••

Mentari telah beriring di ujung singgasananya. Membiaskan lembayung jingga yang menyembul di balik mega. Cakrawala telah terlukis cantik, membius pandangan manusia untuk terpikat pada pesonanya. Terlihat manis, merdu, dan mesra ketika di bawahnya.

Sore ini, di bawah cakrawala Pangandaran dengan sejuta pesonanya. Sabiya terduduk di atas lembutnya pasir, diiringi gemuruhnya ombak. Raga nya menetap tapi jiwanya melayang, memikirkan beribu kisah yang rumpang dan tak seorangpun mau menceritakannya.

"Sore-sore anak gadis gak boleh ngelamun sendirian."

Fawwaz datang menghampiri berdiri tak jauh dari Sabiya.

"Kenapa hidup ini penuh misteri, seakan aku tak boleh mengetahuinya?"

"Bukan karena tak boleh, tapi mungkin ini yang terbaik. Lebih baik tak tahu dari pada tahu."

"Tapi tak adil."

"Tak adil menurutmu. Mungkin menurut orang lain tidak seperti yang ada di pikiranmu."

Sabiya lebih memilih diam, enggan menanggapi. Tangannya kembali membuka kembali buku hariannya yang selalu setia mengiringi langkahnya.

Dengan iringan deru ombak dan aroma asinnya air laut, Sabiya kembali menorehkan tinta hitam pada kertas putih. Mengabaikan Fawwaz yang masih terpaku di tempatnya.

"Jangan terlalu merasa diri lebih menderita dari yang lain. Karena bisa jadi orang yang terlihat biasa saja memiliki cobaan yang lebih berat, namun mereka pandai menutupi. Intinya, tetaplah berkhusnuzan kepada Allah karena Dia tidak akan menciptakana sebuah masalah tanpa solusi."

"Seperti, Abang?" tanya Sabiya. Aktivitasnya terhenti, memilih untuk kembali menutup kan bukunya dan sedikit mendongak untuk melihat ke arah Fawwaz yang masih dalam gemingnya dan berdiri dengan jarak yang sedikit terbentang.

Wajahnya bersih tersorot rona jingga sang senja. Bulu mata yang lentik membingkai bola mata yang memendam berjuta misteri. Beberapa anak rambutnya jatuh tepat di dahinya. Oh, jangan lupakan hidung bangir itu. Memandangnya dari bawah meski berjarak tetap tidak bisa memudarkan pesonanya. Bahkan Sabiya rasa pesona Fawwaz bertambah berkali lipat saat ini. Jika dibandingkan dengan Fikri, memang Fawwaz akan kalah tampan. Tapi entah mengapa, rupa Fawwaz tidak pernah bosan untuk dipandang. Seperti memiliki pesonanya sendiri untuk menjerat siapa saja yang melihatnya.

Astagfirullah hal adzim... Sabiya segera menundukkan pandangannya, beralih menatap ujung kakinya yang bergerak gelisah di atas pasir.

Allah, maafkan atas kelancanganku. Batinnya.

"Kenapa seperti ku?" tanya balik Fawwaz dengan senyum miringanya.

"Mungkin Abang butuh tempat untuk mengeluarkan unek-unek. Insyaallah aku akan menjadi pendengar yang baik," jawab Sabiya yang tidak nyambung dengan pertanyaan Fawwaz.

Risalah Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang