بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
•••
"Rasa sesak dalam kalbu adalah bukti bahwa diri belum benar-benar ikhlas dalam menerima semua takdir-Nya."
-Risalah Rasa-
•••
Zidan terus menarik gas motor gedenya hingga mencapai kecepatan tinggi. Meliuk-liukkan setangnya untuk mendahului pengendara di depannya. Umur Zidan yang belum mencukupi untuk membuat surat izin mengemudi, membuat Zidan harus kucing-kucingan dengan polisi lalulintas yang sedang berjaga. Tak jarang dia lebih sering menggunakan jalan tikus untuk mencapai sekolahnya.
Mata setajam elang Zidan menatap pada satu garis lurus. Ada kabut dalam manik matanya yang setajam sembilu, memberitahukan kepada banyak orang bahwa ada kesakitan yang sedang menyapa.
Zidan tidak pernah menyangka dalam hidupnya akan mengalami masa seperti ini. Dimana hanya ada kelelahan hati dalam menjalani hidup. Tidak ada semangat yang menggebu layaknya anak remaja seusianya.
Zidan rindu dengan sosok ibu yang selama ini dia harapkan kehadirannya. Tapi mengapa saat dia bertanya kepada ayahnya tentang ibunya, ayahnya selalu saja mengelak? Tidak pernah ada jawab yang membersamai tanya nya perihal kegundahan yang ada di hatinya. Tentang seperti apa sosok ibu yang telah melahirkannya. Dalam hidupnya, Zidan dan Sabiya tidak mengetahui hal apapun terkecuali nama dari sang ibu. Marwah, adalah nama ibu mereka yang juga tersemat pada nama belakang Sabiya, Aidah Sabiya Marwah. Selebihnya, tidak ada yang mereka ketahui.
Pernah sekali Sabiya dan Zidan nekat untuk mencari tahu. Namun nihil, semuanya nampak buntu. Sekeras apapun mereka mencarinya, hanya kekecewaan yang kembali didapat. Karena tidak ada sumber informasi yang dapat mereka gali. Mereka tidak mengetahui keluarga ibu Marwah. Sementara Nenek dan kakek dari ayahnya tidak pernah mau memberitahu mereka. Bahkan jika mereka bertanya, mereka malah akan mendapatkan amarah dari neneknya. Satu hal yang dapat mereka ambil, bahwa keluarga ayahnya tidak pernah menyukai ibunya.
Zidan memarkirkan motornya sebelum memasuki koridor. Lelaki berseragam putih biru itu dengan mantap melangkahkan kakinya. Tanpa beban, seakan semuanya berjalan sebagai mana mestinya. Zidan, sangat pandai menutupi hatinya yang pada kenyataannya telah remuk.
"WOI!"
Zidan berjingkat saat Andi--sahabat sejawatnya dalam kenakalan mengagetkannya.
"Kantin, yuk. Gue belum sarapan, nih."
"Males, mau langsung ke kelas. Lo ke kantin sendiri aja, udah gede juga masih suka dianter," jawab Zidan sambil melangkah memasuki kelasnya. Membuat Andi mengumpat kesal.
"Kesambet setan apaan, lo. Tumben banget masuk kelas pagi. Biasanya juga ngebolos dulu ke kantin."
•••
Zidan menghela napas lelah mendengarkan bu Indri yang tengah menjelaskan rentetan rumus di papan tulis. Menelungkupkan tangannya di atas meja dan menenggelamkan kepalanya pada tumpukan tangan. Kursi bagian pojok belakang yang strategis. Zidan bisa tidur tanpa terlihat oleh guru. Kecuali jika guru itu adalah tipe guru yang akan berkeliling saat menyampaikan materi.
Dalam pikirannya terus bertanya-tanya. Kenapa ayahnya nampak tidak menyukainya? Apakah karena dia yang bandel?
Setiap Zidan melakukan kesalahan sedikit saja ayahnya akan langsung marah padanya, tanpa mau terlebih dahulu mendengarkan pembelaannya. Di mata Rendra, Zidan selalu salah. Membuat Zidan akhirnya mulai menaruh rasa benci yang seharusnya tidak dia rasakan pada ayahnya sendiri, orang yang telah berbagi DNA dengannya.
Selalu ada konflik setiap mereka sedang bersama. Itu yang membuat Zidan enggan berada di rumah terlalu lama. Bagi Zidan, rumah adalah tempat untuk tidur, mandi, dan makan. Selebihnya dia menikmati hari-hari nya sesuka dan sebebasnya.
"Zidan!"
Bu Indri membangunkan Zidan yang sudah terlelap. Sedari tadi dia selalu menatap curiga pada bangku pojok yang di duduki oleh Zidan. Karena dia tahu pasti Zidan kembali tidur dalam jam pelajarannya. Dan setelah didekati ternyata benar. Zidan sudah tepar.
Masih belum mendapatkan respon dari Zidan. Bu Indri meraup oksigen, bersiap untuk mengeluarkan suara menggelegarnya.
"MUHAMMAD ZIDAN PRASETYA!"
"YA, SAYA." Latah Zidan sambil berdiri tegak.
Dan seketika tawa menggema di dalam kelas itu. Membuat Zidan tersadar dari keterkejutannya.
"Kamu ini, sudah berapa kali ibu bilang, jangan tidur disaat jam pelajaran berlangsung!"
Zidan hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal mendengar omelan dari bu Indri. Teman-teman sekelasnya masih terkikik geli melihat ekspresi mengenaskan Zidan.
"Maaf, Bu. Semalam saya tidur terlalu larut," belanya.
"Habis ngapain tidur larut? Nungguin kucing kamu beranak?"
"Ngangon nyamuk kali, Bu," celetuk teman sekelasnya yang bernama Rudi. Membuat seisi kelas kembali bergema oleh tawa.
•••
Kemarin ada yang ngasih saran buat Risalah Rasa disingkatnya jadi RiSa. Dan menurutku, kayaknya itu lebih gampang pengucapannya. Jadi fix RiSa aja ya😁
Udah masuk bagian empat, nih. Aku mau nanya dong, sejauh ini menurut kalian gimana sama Risalah Rasa?
Tegur aku jika ada kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan, ataupun informasi yang terdapat dalam cerita RiSa. Karena aku pun masih dalam tahap belajar😊.
Syukron katsiira sahabat RiSa yang telah membaca :)
15-01-2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Risalah Rasa [SELESAI]
SpiritualAidah Sabiya Marwah, gadis bernetra hazel dengan keindahan yang terpahat dalam parasnya. Hidup hanya dengan ayah dan adiknya, membuat Sabiya tumbuh dengan kasih sayang yang rumpang. Kebencian melegam dalam hati Sabiya, kepada sosok yang telah melahi...