بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
•••
"Ku tukarkan pedihku dengan romansa untuk mereka. Tak apa jika saat ini aku terluka. Toh, roda terus berputar, kan? Aku yakin masih ada sedikit tawa untukku semangat menjalani hidup."
-Risalah Rasa-
•••
"Ayah mohon, Bi. Kamu mau, kan, menuruti permintaan Ayah?"
Sabiya tak menjawab, pandangannya masih terlihat kosong. Dan Rendra, tak menyerah untuk terus merayu puterinya.
"Ini semua demi kebaikan kita, terutama Ibu. Jika kamu sampai tidak mau menikah dengan Afrizal, maka Ayah akan dipecat dan dituntut. Jika hal itu terjadi, kita akan membayar biaya pengobatan Ibu dengan apa? Semuanya gak ada yang murah."
"Tapi apa Ayah sadar, jika Ayah menikah kan ku dengan atasan Ayah itu, maka Ayah sama saja dengan menjual ku?" tanya Sabiya dengan lirih. Hatinya berdegup kencang, menanti jawaban dari Rendra. Dalam hati Sabiya merapalkan banyak doa agar Rendra tak sampai hati untuk menikahkannya dengan lelaki yang bahkan tidak dia kenal.
"Iya. Ayah sadar, jika itu semua sama saja dengan Ayah menjualmu."
Deg.
Hati Sabiya mencelos, menjerit nyeri. Apa yang barusan dia dengar benar-benar terucap dari orang yang selama ini menjadi sandaran nya? Ayahnya sendiri?
Untuk kali ini Sabiya berharap indera pendengarnya tidak berfungsi dengan baik. Karena demi apapun jika hal itu sudah terucap dari seorang Ayah, maka sakitnya tiada berbanding.
Dijual ayahnya sendiri demi menutupi hutang? Oh.., Rabbi... Tak sedikitpun hal itu melintas dalam pikiran Sabiya.
Tangannya terkepal, buku-buku jarinya telah memutih. Bahkan, usapan Nada yang sejak tadi setia pada bahunya, tak dia hiraukan. Marah, kesal, sedih, dan kecewa telah berbondong-bondong mendobrak kekokohan hati Sabiya. Membuat gadis dengan khimar coklat susu itu menampilkan ekspresi datar nya. Tak ada lagi senyum ramah penuh rasa hormat yang Sabiya tampakkan untuk Rendra. Karena pria yang bersetatus sebagai ayah biologisnya itu, telah tega menghancurkan masa depan puterinya sendiri. Sungguh, Sabiya yang malang.
Semua yang ada di ruangan itu terkesiap saat melihat Sabiya yang tiba-tiba berdiri. Sorot matanya telah berubah, tidak nampak lagi Sabiya seperti yang mereka kenal. Hal itu membuat Rendra merutuki kebodohannya sendiri. Bisa-bisanya dia lepas kendali sampai membuat Sabiya berpikir dengan berat seperti ini.
"Semua terserah Ayah. Toh, aku menolak pun Ayah akan tetap memaksa. Jadi, aku tidak mau buang-buang energi mengeluarkan penolakan." Jeda tiga detik. "Aku pamit pulang dulu."
"Biii..." Nada mengejar Sabiya yang telah hilang di balik pintu. Gadis berpipi tembem itu tahu jika kini Sabiya benar-benar tengah kacau. Dia hanya tidak mau, Sabiya melakukan hal bodoh yang bisa melukai dirinya sendiri.
Sedangkan Zidan, dia terpaku di tempatnya. Pikirannya tak kalah kacau dan semrawut seperti Sabiya. Dalam benaknya. dia selalu menyalahkan diri sendiri. Andaikan saja, dia tak hadir dalam hidup keluarganya, maka semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Namun berjuta kata andai Zidan ucapkan pun semuanya tidak lah bisa kembali seperti semula. Karena kata andai hanyalah program syetan untuk membelokkan jalan orang-orang yang sabar, untuk ingkar kepada Penciptanya. Membuat manusia terus terjerembab dalam jurang penyesalan, tanpa memikirkan dengan baik, bahwa ada Allah yang Maha Tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Yang harus kita lakukan hanyalah berdoa, ikhtiar, dan tawakal. Urusan apapun nanti yang menjadi takdirnya, kita hanya perlu yakin bahwa Allah tidak akan pernah keliru dalam mentakdirkan jalan hidup hamba-Nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risalah Rasa [SELESAI]
EspiritualAidah Sabiya Marwah, gadis bernetra hazel dengan keindahan yang terpahat dalam parasnya. Hidup hanya dengan ayah dan adiknya, membuat Sabiya tumbuh dengan kasih sayang yang rumpang. Kebencian melegam dalam hati Sabiya, kepada sosok yang telah melahi...