بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
•••
"Allah menciptakan hamba-Nya tanpa sedikit pun membeda-bedakan. Jika dirimu merasa lebih sempurna, maka berhati-hatilah. Karena bisa jadi, sifat ujub (takjub pada diri sendiri) akan membinasakanmu."
-Risalah Rasa-
•••
Bel pertanda istirahat kedua telah berbunyi. Melengkingkan suaranya, menggema seantero sekolah. Agar semua siswanya tahu, bahwa waktu isoma (istirahat, shalat, makan) telah tiba.
Begitupun dengan gadis bernetra hazel yang tengah membereskan buku di atas mejanya, sebelum melangkahkan kaki menuju masjid sekolah. Waktu istirahat pertama pada jam sepuluh, Sabiya dan Nada pergunakan untuk mengisi perutnya yang lapar. Sedangkan waktu istirahat kedua pada jam dua belas mereka pergunakan untuk menunaikan shalat dzuhur.
Seperti istirahat sebelumnya, koridor sekolah selalu ramai. Sesekali, Sabiya melontarkan senyumnya kepada orang yang berpapasan dengan dirinya. Meski tak pernah mendapat balasan. Tak apa, bukankah senyum termasuk ke dalam ibadah? Dia akan terus melakukannya, melontarkan senyum terbaik kepada semua orang. Membagikan kebahagiaan meski dia sendiri belum pernah merasakan apa itu bahagia yang nyata.
Semuanya menghindar. Tidak ada teman yang mau dekat dengannya. Semuanya menjaga jarak. Seolah Sabiya adalah seseorang yang paling harus dihindari.
Hanya Nada dan Fikri. Sahabat setianya yang selalu menemani. Disaat semua orang mengucilkannya karena bipolar yang dideritanya. Tidak begitu dengan dua sahabat karibnya itu, yang dengan setia merengkuhnya dalam suka maupun duka.
Banyak orang bilang Sabiya memiliki kepribadian ganda. Sabiya hanya bisa mengelus dada sembari menguatkan diri untuk senantiasa terus bersabar. Karena mungkin, orang-orang masih belum mengerti benar dengan yang namanya bipolar. Perubahan suasana hati yang sangat drastis dari episode mania ke episode depresi, membuat semua orang berspekulasi bahwa Sabiya mempunyai kepribadian ganda. Tidak apa, biarkan mereka berspekulasi sesukanya. Karena Sabiya tidak bisa menjelaskan kepada setiap orang. Biarkan semuanya mengalir, hingga tibalah saatnya kebahagiaan menjemputnya. Sabiya yakin itu. Bukankah roda terus berputar?
Tapi, apakah setiap orang yang memiliki kelainan sepertinya harus dikucilkan? Tidak berhak mendapatkan teman dan semua hak yang semua orang dapatkan?
Kata ayahnya, hidup ini adil meski tidak sama rata. Rendra selalu mengajarkan tentang arti sabar kepada Sabiya. Semua hal yang terjadi pada hidupnya, tak lain adalah suratan takdir-Nya untuk menguji seberapa kuat iman manusia dalam menghadapi semua permasalahan.
Tapi Sabiya bisa apa, sedang dia hanyalah manusia biasa yang punya mata hati. Merasa meradang jika amarahnya tersulut, dan merasa rapuh saat kenyataan menyiksa jiwanya.
Oh..., Allah... Tidak adakah renjana tersimpan untukku? Di balik KuasaMu yang Maha Agung.
"Pokoknya nanti gue harus usul pembesaran masjid ke Fikri," gerutu Nada, saat langkah mereka sampai di pelataran masjid sekolah yang tampak sesak. Membuat Sabiya kembali memfokuskan diri agar tidak melamun.
"Fikri udah mau lengser kali, kan udah kelas tiga. Bentar lagi juga diganti sama ketua irmas yang baru," ucap Sabiya. "Harusnya kita tuh bersyukur, meski masjid di sekolah ini kecil membuat kita harus mengatri dan pintar-pintar mengefektifkan waktu untuk istirahat. Setidaknya masih ada tempat untuk kita menjalankan kewajiban. Coba bayangkan saudara kita yang ada di negara konflik atau di negara yang menentang islam. Mereka harus sembunyi-sembunyi dalam melaksanakan ibadah . Banyak resah dan ketakutan yang menyambangi saat diri ingin belajar taat," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risalah Rasa [SELESAI]
SpiritualAidah Sabiya Marwah, gadis bernetra hazel dengan keindahan yang terpahat dalam parasnya. Hidup hanya dengan ayah dan adiknya, membuat Sabiya tumbuh dengan kasih sayang yang rumpang. Kebencian melegam dalam hati Sabiya, kepada sosok yang telah melahi...