Sabiya dan Sahabat Sejati

5.2K 629 63
                                    


"Kita dipersatukan oleh takdir untuk saling melindungi, menjaga, dan memahami, dalam satu wadah yang disebut persahabatan."

-Risalah Rasa-

•••

Jalanan yang macet, tidak membuat Sabiya tertahan di tengah ratusan kendaraan yang saling menghimpit. Gadis bernetra hazel itu dengan lincahnya membelokkan stang motornya ke arah jalan tikus yang sudah dia hapal di luar kepala.

Selalu sesibuk itu rutinitas semua orang di pagi hari. Bahkan, mungkin ada yang sampai tidak tidur karena bekerja di luar sana guna mencari nafkah untuk keluarganya.

Sama seperti ayahnya, yang selalu berangkat pagi dan pulang larut. Ingin rasanya Sabiya mengajukan protes agar ayahnya memiliki waktu untuknya dan Zidan. Tapi sepertinya hal itu harus ia redam saat mendapati ayahnya pulang dengan keadaan letih yang tergambar jelas di kulitnya yang mulai menua. Dia masih punya nurani. Manalah tega hatinya.

Sabiya hanya bisa merapalkan beribu kata sabar di hatinya. Serta merapalkan beribu kata syukur dengan apa yang telah ia punya saat ini. Sabar karena dia dan Zidan hanya hidup dengan seorang ayah, tanpa sosok ibu. Dan bersyukur karena dia masih bisa hidup berkecukupan dan dikelilingi oleh sahabat yang menyayanginya.

Dalam sujudnya, Sabiya selalu berdoa. Agar lelah yang menghampiri ayahnya akan menjadi pemberat amal kebaikannya di akhirat kelak.

Beranjak dewasa, Sabiya mulai memahami, bagaimana sulitnya hidup sebagai orang dewasa yang penuh dengan tanggungan.

Setelah memarkirkan motornya, Sabiya segera menjejakkan kakinya dan melangkah menuju lantai dua, tempat di mana kelasnya berada, duabelas IPA satu.

Nampaknya, belum banyak siswa-siswi yang berangkat. Terlihat dari koridor yang masih sepi. Hanya beberapa gelintir saja yang nampak berjalan dengan santai, atau duduk dengan tangan yang menopang buku, dan mata yang terfokus membacanya.

Sedari dulu, Sabiya sudah terbiasa berangkat sepagi itu. Ayahnya telah mengajarkannya untuk menjadi anak yang selalu menepati waktu.

"Assalamualaikum..."

Sabiya langsung mendudukkan dirinya di sebuah bangku yang terdapat di tengah-tengah, samping bangku Nada--sahabatnya--yang masih nampak kosong. Setelah mengucapkan salamnya yang dijawab dengan lirih oleh seorang lelaki yang tengah menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan, dan di tumpukan pada meja.

"Kirain tidur," gumam Sabiya yang hanya dapat didengar olehnya.

Sejurus kemudian, Sabiya lebih memilih untuk keluar kelas. Tidak baik hanya berdua di satu ruangan dengan yang bukan mahrom. Bukankah yang ketiganya adalah syetan?

Eh, tapi. Bukannya syetan selalu ada di mana-mana meski dia sedang tidak berdua dengan yang bukan mahram?

Sabiya segera menggelengkan kepalanya saat otaknya memikirkan apa yang seharusnya sudah tidak dia permasalahkan. Karena sejatinya, syetan selalu ada di manapun dan akan selalu mengusik hati manusia agar ingkar kepada Rabbnya. Hanya saja, jika seorang cucu adam berada di satu ruangan yang sama dengan yang bukan mahram, maka sama saja dengan mempermudah syetan untuk membisikkan godaan-godaan yang akan membuat iman seorang hamba goyah.

Nauzubillah himindzalik.

Semoga kita semua senantiasa selalu Allah lindungi dari segala macam tipu daya syetan.

•••

"Jadi, lo mau ambil jurusan apa kuliah nanti, Bi?" tanya Nada.

Risalah Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang