بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
•••
"Kamu terlalu asik dengan lukamu, sampai kamu tidak sadar bahwa ada luka yang lebih dalam dari itu."
-Risalah Rasa-
•••
Terhitung sudah beberapa hari setelah Sabiya kembali bertanya dengan tangis yang berurai, namun Rendra kembali dalam kebungkamannya. Kini, bahkan lelaki beranak dua itu sudah kembali jarang pulang ke rumah. Kedamaian yang sempat tercipta hampir seminggu itu, kini hanya menjadi dongeng. Karena semuanya telah kembali, pada posisi awal yang membeku.
Sabiya bersyukur Allah selalu memberinya kesabaran yang tiada batas. Andai kata jika dia menyerah pada titik ini, merasa jengah dengan keadaan dan kecewa pada takdir, mungkin hidupnya akan menjadi tak berarah, bingung melangkah.
Kini, mungkin Allah masih mengujinya dengan sedikit lagi rasa sabar yang harus digenggam. Sebelum akhirnya kebenaran akan tersingkap.
Sedangkan, Zidan. Remaja yang masih belum tegap pada pendirian itu kian goyah. Semangat yang awalnya menggebu, kini benar-benar telah padam. Kekecewaan telah habis memakan harapannya. Tidak ada lagi angan yang tersisa setelah dipatahkan. Zidan pun kembali bungkam, lebih memilih untuk pergi dengan teman-temannya kala jam sekolah telah usai.
Hanya satu yang membuat Sabiya khawatir. Bagaimana jika adiknya itu kembali lagi pada dunia malamnya, balapan liar?
Sabiya mendesah lelah. Mulai bangkit dari bangku pendopo belakang rumahnya, dan mulai melangkah memasuki rumah. Ujian nasional telah usai, dan dia sudah mendapatkan hari tenangnya dengan tidak usah berangkat ke sekolah. Namun, hal ini justru membuatnya bosan. Jenuh karena seharian harus mendekam terus di dalam rumah, bagai burung dalam sangkar.
Baru saja bokongnya akan mendarat pada empuknya sofa ruang tengah, pintu depan diketuk dengan iringan suara salam. Sabiya sudah sangat mengenal suara itu.
"Ada apa?" tanya nya langsung setelah menjawab salam dan membuka pintu.
"Gak di ajak masuk, nih?"
"Enggak. Di rumah lagi gak ada siapa-siapa, cuma ada aku."
"Ooh..."
"Ada apa?" ulangnya.
"Weekend jalan-jalan, mau? Holiday kita, refreshing otak setelah UN."
"Tumben amat."
"Bang Fawwaz yang ngajakin," desah Fikri dengan air muka jengah. "Katanya buat nyenengin aku karena aku sama dia jarang jalan bareng," imbuhnya.
Sabiya terdiam sejenak, sebelum akhirnya bertanya, "liburan ke mana? Siapa aja?"
"Pangandaran. Nanti rencananya aku ngajak Nada juga, kamu juga boleh ngajak Zidan, dia UNnya masih agak lama, kan? Bang Fawwaz ngebebasin aku mau ngajak siapa aja."
Sabiya tampak menimang-nimang sejenak. Liburan dengan pikiran semrawut? Apa akan enjoy nantinya? Batinnya bertanya-tanya.
"Emm..., aku tanya Zidan dulu, ya? Kalo dia mau ikut, aku juga ikut."
"Ok. Tapi aku yakin si bocah tengil itu pasti mau ikut. Maklum, keliatan dari mukanya, kusut-kusut karena kurang piknik," kekeh Fikri.
"Sembarangan! Nyebelin gitu juga adikku tahu!"
•••
Paparan panas terik di siang hari ini tak mematahkan semangat mereka berlima untuk memulai perjalanan. Jumat siang setelah shalat jumat mereka pilih untuk merealisasikan wacana liburan yang dijanjikan Fawwaz pada Fikri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risalah Rasa [SELESAI]
EspiritualAidah Sabiya Marwah, gadis bernetra hazel dengan keindahan yang terpahat dalam parasnya. Hidup hanya dengan ayah dan adiknya, membuat Sabiya tumbuh dengan kasih sayang yang rumpang. Kebencian melegam dalam hati Sabiya, kepada sosok yang telah melahi...