Sabiya dan Takdir

8.5K 834 36
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

"Banyak mendung yang mengharu biru dalam kalbu yang kelabu. Terlalu sulit dan pelik."

-Risalah Rasa-

•••

Malam ini, bulan tak lagi menghindar. Dia telah menampakkan dirinya sepenuhnya. Tak lagi seperempat, apalagi separuh. Malam ini, angin tengah bersahabat, dengan hanya mengibarkan khimar instan gadis berparas ayu itu, tanpa terlalu menusuk persendiannya. Semuanya nampak damai, berjalan sebagaimana mestinya. Bintang pun terlihat tidak lagi malu-malu, dia menampakkan kerlipnya dengan sangat cantik, untuk menyapa para pecandu nya.

Netra  gadis yang kerap disapa Sabiya atau Biya itu terfokus pada satu titik, menatapnya nyalang. Pada lantai dua rumah bercat putih gading di seberang rumahnya. Tengah menampakkan interaksi yang bisa disebut keluarga bahagia, lewat sebuah kaca yang tidak tertutup tirai nya, dan jaraknya tidak terlalu jauh, bisa membuatnya dapat melihat dengan jelas interaksi yang sedang mereka lakukan. Oh, betapa bahagianya mereka. Bercengkrama hangat di malam hari yang dingin. Melontarkan canda sederhana yang bisa melahirkan tawa yang merdu.

Jika boleh Sabiya berkata jujur, mungkin hatinya akan berteriak memekikkan ego kesakitan yang telah sejak lama melegam di dasar hati. Berjuta kata andai terlintas dalam benak, meruntuhkan semua benteng pertahanan yang dengan susah payah Sabiya bangun.  Mengapa keluarganya berbeda? Mengapa tidak ada canda yang melahirkan tawa? Mengapa tidak ada percakapan hangat yang hadir, walau hanya seribu delapan ratus detik?

Jika Sabiya boleh memilih, dia tidak ingin terlahir pada posisinya saat ini. Namun qadarullah, semuanya sudah ditulis oleh-Nya di Lauhul Mahfuz  jauh sebelum manusia itu diciptakan. Masih berhakkah kita menantang takdir Allah, disaat semuanya telah Allah rencanakan dengan sebegitu apik nya?

Matanya terpejam bersamaan dengan setetes cairan bening yang mengalir di pipi. Meresapi setiap udara yang masuk ke dalam paru-paru. Sabiya meraupnya serakah, berharap bisa melegakan sedikit saja rasa sesak yang selalu singgah di dada. Masih jelas dalam ingatannya, bagaimana hari-hari yang dia jalani selama tujuh belas tahun ini. Tidak ada memori indah yang terlukis di benaknya. Tidak ada kenangan manis yang tersimpan di sana. Karena yang ada, hanya diri yang selalu merasa sepi, sendiri dalam menapaki setiap jejak kehidupan.

Cklek...

Pintu kamarnya terbuka, menampilkan wajah  Bi Idah yang menyembul di balik pintu. Sabiya tersenyum sekadarnya, kepada wanita paruh baya yang cukup berjasa dalam hidupnya.

"Makan dulu, Neng. Makan malamnya sudah siap," ujarnya yang Sabiya jawab dengan sebuah anggukan sebelum pintu kembali tertutup.

Untuk terakhir kali nya sebelum melangkah, Sabiya hirup kembali udara malam ini dengan serakah. Bersiap untuk menghadapi keadaan yang sudah menjadi temannya, namun tidak pernah bersahabat. Karena Sabiya selalu merasa tidak pernah terbiasa dengan keadaan semacam ini.

Sabiya menuruni setiap undakan tangga dengan lamban. Netranya menelisik sekitar, memonitor setiap penjuru rumah yang terasa mati. Aroma ayam balado menerobos indera penciumannya, saat langkahnya sampai di depan meja makan yang telah tersaji beberapa menu makanan di atasnya. Namun sayang, itu semua tidak dapat menggugah selera makannya, meski Sabiya merasa lapar.

"Mau kemana, Dek?" tanya Sabiya, saat melihat Zidan--adiknya--menuruni anak tangga dengan tergesa sembari mengenakan jaketnya.

"Biasa..., jalan sama temen."

"Gak makan dulu?"

"Males."

Sabiya menghela napas lelah. Seperti itulah Zidan di tengah keluarga yang tak utuh. Semakin lama kelakuannya semakin menjadi. Tidak ada lagi Zidan yang ramah dan taat kepada perintah-Nya. Zidan yang sekarang, adalah Zidan yang dihatinya hanya berisi amarah yang melegam.

Dalam hati, Sabiya terus merapalkan istighfar. Menahan gejolak perasaan yang mulai tidak menentu. Pikirannya mencoba untuk menghalau segala rasa sesak, yang menyeruak di dalam rongga dadanya.

Netra Sabiya kembali terarah pada makanan yang terhidang di atas meja makan berbentuk persegi panjang. Sabiya mengalah, dan mulai mendudukkan diri. Mengambil nasi dan lauk secukupnya untuk mengisi perutnya yang seketika tidak merasa lapar. Selera makan nya pun tiba-tiba menguar. Tapi biar bagaimana pun juga, Sabiya harus makan meski sesuap, hanya untuk menghargai jasa  Bi Idah yang telah memasak semua ini.

Selesai makan, Sabiya kembali memanggil Bi Idah dan menyuruhnya untuk membungkus makanan yang masih terlihat utuh, meski sudah dia makan sedikit, untuk diberikan kepada satpam komplek. Seperti sudah terbiasa dan menjadi agenda rutin. Apapun jenis makanannya tidak akan pernah habis di rumah ini. Karena tidak pernah ada sarapan pagi, makan siang, ataupun makan malam yang hangat di rumah ini. Semua terlalu sibuk, mengurusi urusan pribadi yang selalu di nomor satukan di atas segalanya.

•••

"Idan mau Ibu! Idan mau Ibu!" teriak anak lelaki berusia tujuh tahun, berpakaian merah bergambar kan superman itu. Air mata Zidan telah mengalir sejak tadi, dimulai saat dirinya kembali mengharapkan sosok ibu yang belum pernah dia lihat rupanya. Zidan iri melihat teman-temannya yang selalu  diantar dan ditemani ibunya ketika sedang belajar di sekolah. Tidak seperti dirinya yang hanya diantarkan tanpa ditemani, itu pun oleh ayahnya, bukan ibunya, seperti yang dia mau.

"Stop Zidan! Kita gak punya Ibu, dan kita gak butuh Ibu!" timpal anak perempuan berusia sepuluh tahun dengan napas yang memburu. Hatinya sesak, mendengar rengekkan sang adik yang selalu menginginkan kehadiran ibunya. Baginya, dia tidak pernah memiliki sosok ibu. Dia bisa hidup tanpa ibu. Buktinya saja, dia masih bertahan sampai sekarang tanpa adanya sosok ibu yang mendampingi. Sabiya benci ibu! Sabiya benci!

"Arrghh..." Sabiya terbangun dari mimpi yang datang kembali untuk menghantuinya. Nafasnya memburu, berkejaran dengan detak jantung yang berpacu cepat laksana hentakan kuda. Keringat dingin telah bercucuran di seluruh tubuhnya.

"Astagfirullah hal adzim....," ucapnya berusaha untuk mengontrol emosi yang masih bergejolak. Meski bukan kali pertama bermimpi perihal itu,  Sabiya masih tetap tidak pernah terbiasa. Sabiya masih akan tetap merasakan kesakitan itu, meski mimpi itu sudah menemani malam-malamnya sejak kecil.

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika kalian mengalami mimpi yang dibenci (mimpi buruk) hendaklah meludah kesebelah kiri tiga kali, dan memohon perlindungan dari Allah dari godaan setan tiga kali, kemudian mengubah posisi tidurnya dari posisi semula.” (HR. Muslim)

Dengan hati yang sudah sedikit tenang setelah mengontrol emosinya, Sabiya  mengucapkan taawudz dan bismillah sebelum meludah ke sebelah kiri tiga kali. Kemudian memohon perlindungan kepada Allah sembari membaringkan kembali tubuhnya dengan mengubah posisi tidur dari posisi semula. Sabiya harus menenangkan fikiran nya. Mengubah fokusnya agar tidak terfokus terhadap permasalahan yang tidak kunjung usai, agar tidak sampai terbawa mimpi.

Di sebutkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Mimpi itu ada tiga macam: bisikan hati, ditakuti setan, dan kabar gembira dari Allah.”

Dan Sabiya menyimpulkan bahwa mimpi yang sering dia alami adalah mimpi yang termasuk ke dalam bisikan hati. Yaitu, terkadang seseorang memikirkan sesuatu ketika sadar. Karena terlalu serius memikirkan, sampai terbawa mimpi.

•••

Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan. Syukron katsiira yang telah membaca cerita ini :)

Sumber hadits: https://konsultasisyariah.com/13594-tiga-catatan-tentang-mimpi-buruk.html

04-01-2019

Risalah Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang