(4)

6.1K 854 47
                                    


Kevin terbangun dengan penciuman yang dimanjakan aroma sedap. Tetapi hal serupa tidak terjadi pada perutnya yang bergolak hebat hingga Kevin berusaha menekan keinginannya untuk muntah. Ia mengerang dan membuka mata. Tidak biasanya ia bangun dengan aroma semacam itu mengingat ia hanya seorang bujangan yang hidup sendiri dan rumah yang ia beli di kota sengaja ia buat lebih kecil supaya ia punya halaman dan garasi yang menjadi jarak dengan rumah tetangga-tetangganya. Saat Kevin membuka mata dan memproses tempatnya berada, ternyata ia tidak berada di rumahnya. Ini rumah ayahnya, tempatnya tumbuh besar. Ia ada di kamar lamanya bersama Calvin. Tertidur di ranjang bertingkatnya. Ia tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di sini. Mungkin ia memang terlalu mabuk semalam.

Kevin beranjak dari tempat tidurnya. Menuju kamar mandi untuk mengantisipasi muntah, tapi sepertinya tak ada yang bisa ia keluarkan meski perutnya terasa mengerikan. Akhirnya ia mencuci wajahnya dan berkumur. Kemudian keluar menuju dapur yang kelihatannya sedang sibuk.

Gerald sedang sibuk di kompor, sepertinya memasak sosis. Sudah ada semangkuk salad di meja makan dan pengatur waktu pemanas baru saja berdenting menandakan sesuatu baru saja matang.

"Pagi, Dad." Kevin mengambil cangkir dan menuangkan kopi. Mengernyit ketika mendapati kopinya mengerikan karena sudah dingin.

Gerald membalik tubuhnya dan tersenyum. Kevin ingin tersenyum tetapi perutnya, meski tidak mengeluarkan muntahan, cukup mempengaruhi suasana hatinya. "Pagi. Meski ini sudah tengah hari."

Kevin segera menuju bak cuci dan memuntahkan kopinya. Sudah bagus tidak ada hal lain yang ia muntahkan. "Kenapa kau tidak membangunkanku? Aku harus ke hotel mengurus sesuatu."

"Memangnya siapa yang bisa membangunkanmu? Kau tidak sadarkan diri sampai aku harus membawamu pulang."

Kevin mengerang sambil menuju kulkas, mencari-cari sesuatu yang bisa ia minum tetapi cocok untuk perutnya. Syukurlah, ayahnya punya jus kemasan. "Jadi kau yang membawaku pulang? Bagaimana kau tahu aku ada di mana? Kau tidak melacakku, kan?"

"Calvin pergi pukul tiga pagi ketika mobil sewanya menjemput. Ketika ia di jalan, ia melihat mobilmu di depan Danny's yang tutup."

Kevin berhenti dan menatap ayahnya. "Cal?" Mengesankan kembarannya begitu peduli mengetahui mobilnya ada di luar sana pukul tiga pagi.

"Yap. Dia keluar dan memastikan semuanya baik-baik saja. Dia melihatmu di dalam sana. Mabuk―sangat mabuk sampai tidak sadarkan diri. Karena Cal terburu-buru harus tiba di New York dan mengejar penerbangan pagi, ia meneleponku supaya membawamu pulang."

Kevin tidak bisa memutuskan apakah Calvin bisa dibilang peduli atau tidak. Nyatanya ia berhenti untuk memastikan, sekaligus pergi dan menyerahkan tanggung jawab itu pada orang lain. Persetan dengan Calvin. Bukan ia satu-satunya alasan akhirnya Kevin memutuskan mabuk.

"Aku bisa bilang, itu bukan gayamu," ujar Gerald. "Sama sekali bukan gayamu mabuk dan terdampar di tempat parkir bar yang tutup. Aku harus menelepon Randy keesokan paginya supaya mengijinkan mobilmu tetap di sana."

"Kau meninggalkan mobilku di sana?"

"Beritahu aku apa yang perlu kulakukan. Aku tidak bisa membawamu dan mobilmu sekaligus. Itu pukul tiga pagi." Gerald mengambil dua piring, menyajikan sosis yang terlihat lezat dan panggang yang menggiurkan. "Makanlah. Sarapan atau makan siang, kau perlu mengisi perutmu setelah banyak alkohol yang kau konsumsi."

Kevin mendudukan dirinya di kursi. Bersyukur masih ada ayahnya yang masih mau mengurusnya saat mabuk, yang bahkan tidak marah ketika tahu ia sampai tidak sadarkan diri. Gerald adalah ayah terbaik. Meski tidak overprotektif seperti ayah Jesse, atau bahkan memanjakannya seperti ayah-ayah lain, bahkan tidak pernah menuntut apapun dari anak-anaknya. Tetapi Kevin bangga bisa dibesarkan oleh seorang Gerald Beverly. Itulah yang membuat Kevin bersedia mengambil alih bisnis keluarga dan membiarkan ayahnya pensiun lebih dini.

REMEMBER OURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang