(13)

6.1K 859 84
                                    


Entah berapa lama mereka bertahan di depan pintu kamar Ed, saling mencecap dan membelai bibir dengan lidah. Quinn tidak bisa memperkirakan waktu ketika seluruh akalnya melebur dalam ciuman Kevin. Mereka tidak bicara, hanya ada sahutan napas berat, sesekali berhenti untuk mengambil udara sebelum kembali melumat satu sama lain. Kenyataannya Quinn menyukai ini, meski ia harus mengakui kekalahannya terhadap pesona Kevin.

Quinn sendiri hampir yakin hasratnya sudah menggebu sejak melihat pria itu di depan matanya. Ia membayangkan Kevin yang jantan dan manis, maka itulah yang ia dapatkan sekarang. Quinn nyaris merasa rendah karena sudah lama tidak berhubungan dengan pria manapun. Takut jika ia tak akan pernah cukup untuk Kevin yang selalu dibicarakan orang-orang di kota, takut jika ciuman yang Quinn berikan payah. Tetapi Quinn tahu dari geraman rendah Kevin, bahwa dirinya tidak terlalu gagal.

Ya Tuhan, ini menyenangkan. Quinn tidak ingat kapan ia pernah mendapatkan ciuman seperti ini. Kevin jelas tahu cara mencium. Bibirnya tegas namun lembut. Jemarinya tahu ke mana harus menyentuh dan kapan harus membelai yang lainnya. Kevin bukan hanya melumat bibir, namun juga menciumi seluruh wajahnya seraya mengambil napas.

Ketika Quinn tahu bahwa ini tidak akan berakhir dan akan berlanjut lebih jauh, ia pun berhenti. Ia menyandarkan dahi di bahu Kevin dan pria itu mencium puncak kepalanya dengan begitu manis.

"Kita harus berhenti," bisik Quinn. Ia baru saja mengakui apa yang terjadi sembilan tahun lalu dan ia tak mau dihantui rasa bersalah karena memanfaatkan keadaan untuk kedua kalinya. "Ini sudah sangat larut. Kau mungkin butuh istirahat. Aku juga."

Memangnya siapa yang peduli dengan istirahat? Kenyataannya Kevin lah yang Quinn butuhkan.

"Sebentar lagi," balas Kevin. Ia menarik mundur wajah Quinn hanya untuk memberikan ciuman lama di kening. "Kumohon."

Quinn mengangguk pelan. "Oke."

Kevin mengambil jemari Quinn dan mencium di bagian punggung sebelum meletakkannya di dada. Quinn bisa merasakan jantung yang bertalu-talu, seirama dengan denyut jantungnya saat ini. "Kau merasakannya? Aku tidak tahu kapan aku pernah merasa seperti ini. Aku hanya... begitu ingin menciummu lagi."

Kalimat itu mengirimkan getaran di sekujur tubuh Quinn. Ia belum sempat mencerna segalanya ketika Kevin meraih wajahnya lagi dan memberi kecupan-kecupan ringan. Quinn belum pernah merasa begitu dihargai seperti saat ini.

"Tapi kau benar, kita harus berhenti," kata Kevin. Ia mengambil posisi menjauh dari Quinn namun tangannya tetap menggenggam Quinn. "Kau pasti sangat lelah. Kau butuh istirahat yang cukup."

Pipi Quinn panas. Bukan, sekujur tubuhnya juga panas dan pria ini penyebabnya. Tetapi Kevin benar dan tubuhnya meronta menuntut diistirahatkan, jadi Quinn hanya mengangguk setuju. "Aku akan mengantarmu keluar."

Kevin hanya menjawab singkat, lalu berjalan lebih dulu menuruni tangga dan menuju pintu depan. Ia menunggu Quinn membukakan pintu untuknya sebelum mengambil langkah keluar. Ia tidak berkata apapun namun tidak melepaskan pandangan dari Quinn. Jika Kevin menciumnya sekali lagi, mungkin Quinn tak lagi peduli jika tubuhnya lelah, ia pasti akan mendorong Kevin ke sofa.

"Quinn?"

Quinn mengangkat wajah dan melihat tangan Kevin yang terulur namun ia urungkan. Membuatnya bertanya-tanya apakah Kevin menahan diri sebesar dirinya.

"Bolehkah aku..."

Tidak. Tidak, jangan lagi meminta ciuman. Karena jawaban pastinya adalah ya. Kevin bahkan tak perlu bertanya. "Ya?"

"Bolehkah aku... menjemputmu besok pagi?" Kevin menghelas napas pelan dan Quinn juga melakukan hal yang sama. "Aku tahu kau sangat mandiri, tapi aku hanya ingin mengantarmu, itu saja. Setelah mengantarmu, aku akan mengantar Ed ke sekolah. Laurel mungkin butuh rehat sejenak. Aku juga yang akan menjemput Ed sepulang sekolah. Aku mungkin juga akan menjemputmu pulang kerja. Bagaimana menurutmu?"

REMEMBER OURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang