"Lima puluh dolar?" ujar Kevin pada Ray. "Kau gila?"
Ray terkekeh seraya mengantongi bubuk putih dalam plastik kecil itu, seolah ingin melindungi barang itu karena tahu Kevin tak punya uang sebanyak itu. Yah, sebenarnya ia punya, tapi ia ragu mau menghabiskannya untuk entah bubuk apa itu. Lima puluh dolar untuk sejumput barang itu, yang benar saja.
"Kau tahu aku selalu menjual barang bagus," kata Ray.
"Aku tahu," gerutu Kevin. "Tapi lima puluh dolar!"
"Itu sepadan."
"Apa itu?"
"X."
"Sinting." Yah, Kevin pasti memang sudah gila karena bertanya-tanya bagaimana rasanya menggunakan barang-barang itu. Ray bilang ada barang yang lebih menyenangkan dari ganja. Ternyata ini, ekstasi. Kevin memang penasaran, tapi untunglah otaknya bekerja sekarang ini karena ia tak mau menghabiskan lima puluh dolar untuk barang sekecil itu. "Lupakan saja, Ray."
"Hei, Kev. Kau akan menyukainya. Aku jamin. Lagipula kau Beverly, uang bukan masalah untukmu."
"Sungguh? Kau pikir darimana uang-uang jajan ganjaku berasal? Aku tidak bekerja atau apa. Aku masih mengemis dari ayahku. Jadi kalau aku meminta lima puluh dolar tambahan untuk satu kali menghirup ekstasi bagusmu, aku pasti terbunuh." Kevin melirik Ray. "Lagipula itu bukan jaminan barangnya benar-benar bagus."
Ray menyeringai entah karena mabuk atau tidak. Ia akhirnya mengeluarkan barang itu lagi dari kantongnya. "Kau memang tahu cara bernegosiasi, bukan? Baiklah, bagaimana kalau aku berikan satu sampel yang tidak harus kau bayar sekarang. Tapi untuk selanjutnya, tidak ada uang, tidak ada barang. Kau memang temanku, tapi aku juga butuh uang-uang itu."
Kevin tergugah, meski ia masih ragu akan mencoba barang itu. Benaknya memikirkan bagaimana jika ayahnya, Max, dan Cara tahu. Kevin pasti akan mengecewakan mereka. Tetapi darahnya yang memanas tidak bisa menghentikan ketergantungan ini. Kevin membutuhkan barang-barang itu untuk membuatnya merasa lebih baik. Membuatnya lupa akan kehilangan saudara, kehilangan ibunya, dan yang lainnya.
"Bagaimana?"
"Aku membawa dua puluh dolar," kata Kevin. "Aku bisa membayar sisanya besok." Meski Kevin sebenarnya bisa membayar itu semua sekarang, tapi ia tidak mau terlihat seperti ia punya uang.
"Kau tahu, kita bisa menikmati ini bersama dan kau bisa membayar separuh harga."
"Ide bagus."
Ray mengeluarkan lagi bungkusan itu. Membukanya dengan hati-hati dan menumpahkan isinya ke tangan. "Lihat ini." Ia mendekatkan bubuk itu hidungnya dan menghirupnya dalam-dalam. Kevin mengamati perubahan ekspresi Ray dengan saksama. Pemuda itu terlihat puas dan begitu menikmatinya hingga Kevin tergoda untuk melakukan hal yang sama. "Ini benar-benar bagus." Ray mendesah puas dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Ia menyodorkan bungkusan itu pada Kevin. "Inilah yang disebut barang bagus. Tidak ada apa-apanya dengan rokok itu. Rasanya... seperti surga selamanya."
Kevin meragukan soal surga itu. Ibunya ada di surga. Kalau sampai ibunya di surga sedang dikunjungi putranya yang teler, jangan-jangan Kevin bisa ikut diseret ke surga. Dengan catatan ia memang bisa masuk surga.
"Ayo, cobalah."
Kevin ragu-ragu ketika mengeluarkan barang itu. Ia mengamati sekitarnya meski tidak orang pada pukul sembilan malam di belakang sebuah bengkel yang sudah tutup. Ia begitu jauh dari rumah dan sekarang ia akan mencoba ekstasi. Harusnya ia tak khawatir.
"Kau tidak kehilangan keberanian, bukan?" Ray mendengus geli dan Kevin berpikir Ray hampir terbahak karena efek narkoba dalam dirinya. Tetapi sepertinya Ray masih sadar mereka bisa saja ketahuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMEMBER OURS
RomanceBEVERLY HOUSE SERIES #3 √ Completed √ Kevin Beverly baik-baik saja ketika berada di sekitar kembarannya. Tetapi kembarannya selalu saja berusaha menjauhinya hingga Kevin terpuruk meski sudah bertahun-tahun lamanya. Namun malamnya bisa saja lebih bur...