(26)

5.8K 873 63
                                    


"Dia tampan," kata Quinn menatap bayi laki-laki dalam gendongan Sophie. Bayi itu montok seperti Sophie tapi bentuk wajahnya jelas berasal dari ayahnya. "Trevor. Nama yang sempurna."

"Aku sangat bahagia, Quinn," Sophie mencium bayi itu lagi. Wanita itu sudah melakukannya jutaan kali. "Aku sangat mencintainya."

Quinn juga pernah merasakan hal itu. Kehamilannya memang berat tanpa seseorang yang mendampingi selain Sophie. Kalau bukan karena sahabatnya itu, Quinn pasti merasa begitu kesepian di dunia ini. Quinn bahagia untuk sahabatnya. Melihat Sophie membuat Quinn melupakan Kevin untuk sesaat.

"Jadi... bagaimana kau dan Kevin?" tanya Sophie.

Mengingat pria itu saja sudah berat. Mendengar orang lain menanyakan itu pada Quinn ternyata lebih berat. Ia tidak ingin membuat sahabatnya khawatir, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan apapun darinya.

"Quinn?"

"Tidak ada yang terjadi," kata Quinn tenang meski hatinya tercabik. Ia masih mengingat bagaimana Kevin memandang rendah dirinya. Mengira Quinn tidur dengan saudaranya. Itu keterlaluan. Quinn hanya pernah direndahkan sekali oleh Calvin bertahun-tahun lalu, ia tak menyangka hal yang sama dilakukan oleh Kevin yang ia cintai―ayah dari putranya. Itu menyakitkan.

"Apa ini hanya perasaanku atau memang ada yang tidak beres?" tanya Sophie. "Kalian baik-baik saja, bukan?"

"Ya." Tetapi Quinn menunduk dalam-dalam demi menghindari tatapan menyelidik Sophie.

"Oh, Quinn," desah Sophie akhirnya. Quinn menahan getar di bibirnya dan memaksa air matanya tidak jatuh. "Kau harusnya cerita padaku."

"Aku baik-baik saja." Tapi itu sebuah kebohongan.

"Kau juga bilang begitu saat memberitahu tentang Ed. Setelahnya kau bahkan tak pernah kembali meski kau sendiri tahu ayah Ed ada di kota ini. Jadi maaf, kali ini aku tidak percaya. Apa yang Kevin lakukan padamu?"

"Dia tidak melakukan apapun." Quinn meyakini hal itu pula. Kevin hanya kesulitan untuk mempercayai seseorang. Jika Kevin lebih mempercayai saudaranya, hal itu wajar saja. "Kami hanya tidak berhasil, itu saja."

"Lalu bagaimana dengan Ed?"

"Dia harus bisa menerima kekurangan itu," putus Quinn. Ia juga harus menerima kenyataan itu. Mimpi yang indah sudah berakhir. Inilah realitanya.

"Kevin orang baik, kau tahu. Terlepas dari apapun kebiasaan buruknya dulu dan bagaimana dia tidak menyadari adanya Ed. Kupikir kalian cocok bersama. Aku tak pernah melihat Ed sebahagia itu."

"Yah, kami tidak secocok itu." Quinn menekan luka dihatinya lebih erat kali ini. Ed memang begitu bahagia ketika menghabiskan waktu bersama orang tuanya yang utuh. "Dia akan terbiasa nantinya. Banyak anak yang dibesarkan dengan orang tua terpisah." Quinn sendiri salah satu anak itu, tetapi ia tidak menegaskannya.

Pintu terbuka dan Randy masuk. Tiba-tiba Quinn melihat pria itu begitu dewasa karena telah menjadi seorang ayah. Tak lagi ia melihat Randy sebagai anak bandel yang menyelundupkan minuman keras dari bar ayahnya. "Hai, Quinn."

"Hai," balas Quinn. "Aku bahagia untukmu. Aku juga bahagia kau membuatku mendapatkan cuti."

"Aku ingin di sini bersama Sophie malam ini," kata Randy. Ia mendekati istrinya dan menunduk untuk mengecup putranya. Ia jelas-jelas jatuh cinta. "Dia begitu dalam gendonganmu."

"Dia tertidur sejak tadi. Dia suka berada di bawah lipatan lemakku ini," kata Sophie.

Melihat pasangan sahabatnya itu membuat Quinn iri. Ia tidak pernah mendapatkan perhatian seperti itu dari pria manapun. Hanya Kevin yang pernah memperhatikannya begitu dan pikiran itu sama sekali tidak membantu Quinn untuk melupakan Kevin.

REMEMBER OURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang