Part 15

104 18 2
                                    

"Selamat sore."

Deg

Ais terdiam. Tak berkutik sama sekali. Mendengar suara itu seakan jantungnya berhenti berdetak saat itu juga. Ia tau siapa pemilik suara itu. Sangat tau tanpa melihat wajahnya sekalipun.

"Sore juga, Mas Lukman," jawab Sasha dengan sumringah karena bertemu dengan Lukman lagi setelah sekian lama tak pernah bertatap muka. Siswa dengan seribu kebaikan, di mata Sasha, tapi raut wajahnya langsung berubah tak enak tatkala melihat Ais yang hanya diam tanpa bergerak.

Dengan sekali memandang perubahan wajah Sasha dan Ais serta nama pria yang baru saja masuk, Nues sudah tahu Lukman itu siapa. Siapa lagi kalau bukan mantannya Ais yang sangat gadis itu cintai.

"Hai, Aisyah." Napasnya tercekat. Panggilan itu. Panggilan yang di berikan oleh Lukman untuk dirinya. Panggilan yang menurut Ais begitu manis yang kini hanya tinggal kenangan saja.

Ais berdiri, membalikkan badan. Wajahnya sudah terlihat biasa. Senyum tipis tercetak di sana untuk menutupi semua sedih yang menerjang hatinya. "Hai juga, Luk," jawab Ais seadanya. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa. Apa harus dengan senyuman yang dulu pernah ia berikan untuk Lukman atau tatapan benci atas luka yang pernah Lukman ciptakan. Otaknya beku, tidak bisa berpikir apa-apa hingga suara susulan membuatnya melengos.

"Kamu, ya, main ninggalin aku aja. Jalannya jangan cepet-cepet," gerutu gadis yang baru saja masuk langsung menghampiri Lukman.

"Iya, maaf-maaf. Udah jangan ngambek gitu," ucap Lukman mengusap kepala gadis itu dengan lembut.

Ais membuang muka ke sembarang arah. Terlalu malas melihat adegan di depannya yang akan semakin membuat hatinya sakit. Kini sebuah kalender duduk menjadi sangat menarik. Nues yang menyadari itu segera berdiri.

"Mbak Ais, bisa berangkat sekarang enggak?" tanya Nues.

"Bisa, kok."

"Eh, ini bukannya yang dulu pernah nyamperin kita itu, kan? Di foodcourt kalau gak salah." Amarah Ais mengepul di atas kepala saat gadis itu bertanya. Ais hanya tersenyum simpul, ia harus bersikap baik, sangat baik untuk citra tempatnya bekerja.  "Mbaknya jadi instruktur? Woaaahh keren banget, Mbak."

"Iya. Silakan dilanjut, Luk."

"Hati-hati." Ais mengangguk. Mantan pacarnya tidak pernah berubah. Selalu perhatian setiap saat, tapi ia tidak boleh terbawa perasaan. Itu hanya mantan. Mantan, dan gak akan pernah kembali.

"Mbak Ais." Ais menoleh saat Sasha memanggilnya.

"Apa?"

"Jam limanya libur, Mbak."

"Anda bisa belajar langsung seratus menit?" Ais menoleh ke Nues. Nues tampak berpikir.

"Kita lihat nanti saja ya, Mbak, bisa apa enggaknya. Yang penting sekarang berangkat dulu aja."

"Sha, aku berangkat dulu."

Setelah itu Ais berlalu pergi. Masuk ke dalam mobil. Diam, tanpa memberi aba-aba ke Nues untuk melajukan mobilnya.

"Jalankan mobilnya pelan-pelan." Ais menyadari sejak tadi jika mereka tidak menjalankan mobilnya. Nues mengikuti aba-aba dari Ais.

"Makasih." Coba saja kalau Nues tidak segera mengajaknya berangkat, mungkin ia masih ada di sana dan menikmati rasa sakit hati yang begitu dalam lagi kala melihat sepasang kekasih yang seperti dimabuk asmara itu.

"Sudah tugasku, Non, untuk menjaga hati kamu dari serangan fajar," jawab Nues yang masih fokus dengan jalan yang ada di depan.

"Ini bukan pemilu." Nues tersenyum samar.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang