Part 9

126 19 6
                                    

Sinar mentari di Minggu pagi yang cerah menemani Ais jogging mengelilingi taman kota. Ia sendiri, iya sendiri padahal yang lain pada gandengan sama pacarnya masing-masing. Ah, jomlo emang seperti itu nasibnya. Apa-apa sendiri. Namun, tidak masalah, anggap saja uji coba untuk terlatih mandiri.

Harusnya tadi ia di sini dengan pak Key. Mereka sudah janjian untuk ikut Care Free Day dan bertemu di taman. Pak Key bilang ia harus mengantar saudaranya pulang dulu, baru akan menyusul ke taman. Namun, sampainya ia di taman, pak Key memberi kabar kalau ada acara keluarga dadakan, jadinya sekarang Ais sendirian. Mau balik lagi nanggung di ongkos. Mana tadi ia datang ke taman naik bus.

Lari lima putaran saja sudah membuat Ais terengah-engah seperti disuruh kerja rodi. Ketara sekali kalau ia tidak pernah olahraga. Lagi pula Ais juga paling malas kalau disuruh olahraga. Sehat enggak, yang ada bikin badan remuk semua. Ia pasti akan memilih tiduran di rumah daripada capai-capai lari.

Dengan napas yang masih tersisa. Ia membungkuk. Kedua tangannya menumpuk pada lutut. Matanya menyapu semua penjual makanan untuk mengisi perut yang habis olahraga. Pilihannya jatuh pada penjual bubur ayam. Sudah lama juga ia tidak makan bubur, terakhir waktu menemani pak Key olahraga, tapi pria itu yang lari. Ais hanya duduk menanti. Itupun lima bulan yang lalu.

"Pak, bubur satu."  Setelah memesan, ia duduk di bangku yang sudah disediakan oleh bapak penjual bubur sembari menunggu buburnya datang. Ia mengelap keringat di wajahnya dengan tisu yang sudah disediakan juga oleh tukang bubur tersebut. Tidak perlu menunggu lama bubur yang ia pesan sudah ada di depan mata. Ia berdo'a sebelum menyuapkan satu sendok bubur ke dalam mulut.

"Cewek." Ais mengangkat kepala karena ia masih merasa cewek. Nah, lho! Ais melebarkan kedua mata. Orang yang paling Ais hindari tiba-tiba muncul di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Nues. Sepertinya hari-hari yang Ais lewati tidak bisa jauh-jauh dari Nues walaupun itu hari libur sekalipun. Ais memilih kembali fokus ke bubur yang beberapa detik lalu ia anggurkan.

"Pak, buburnya satu," ucapnya yang kemudian duduk di depan Ais. Membuat gadis itu mendengkus kesal.

"Kamu ngapain di sini?" Sudah tahu Ais lagi pakai baju olahraga terus makan bubur masih saja ditanya.

"Menurut anda?" sinisnya tanpa mau melihat Nues.

"Ngeliatin orang pacaran, kali," sindirnya.

Ais tersenyum menyeringai. Tangannya sudah mengepal ingin meninju pria itu, akan tetapi ia mengurungkan niat itu. Mungkin setelah ini Ais harus menyantumkan nama pria itu di dalam do'a-do'anya sehabis menunaikan ibadah. Menyebut nama Nues agar tidak mengganggu ketenangannya di mana pun ia berada. Kalau perlu, membumi hanguskan pria itu.

"Ngapain anda duduk di sini?"

"Suka-suka saya. Lagian ini tempat umum, jadi saya bebas mau duduk di mana. Di sebelah kamu juga bisa."

Ais diam. Benar juga jawabannya. Ini tempat umum, tapi di meja lain kan bisa. Ais mengenyahkan pikiran tentang pria itu.

"Meja lain masih kosong."

"Suka-suka saya, Non."

Bisa pusing jika meladeni manusia di depannya itu. Akhirnya ia milih fokus untuk segera menghabiskan bubur dan pulang ke rumah. Lama-lama di sini bisa membuat Ais cepat tua--emosi.

Akhirnya Ais menyelesaikan sarapan dengan cepat dan beranjak dari tempat duduknya, tapi tangannya ditahan oleh Nues.

"Gak usah pegang-pegang, Sialan!" Ais langsung melepaskan cekalan Nues dengan sangat kasar membuat pria sedikit terhenyak melihat reaksi Ais yang berlebihan itu. Ditambah kata-kata kasar yang keluar dari mulut gadis itu.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang