Part 29

99 18 6
                                    

"Buk, Ais berangkat. Wassalamu'alaikum." Seperti biasa, Ais mencium tangan bu Sarah sebelum berangkat kerja, tapi sial menghampirinya di pagi hari. Mesin motornya tidak bisa dihidupkan. Dengan cara manual pun tetap tidak bisa. Klakson dan sign-nya masih bisa, hanya starter-nya yang susah. Mau pakai ojek online juga tidak bisa karena rumahnya yang berada di pelosok.

"Kok belum berangkat?" Bu Sarah yang tadi ingin mengunci pintu rumah, heran dengan Ais karena belum berangkat.

"Motornya gak bisa dipake. Mogok kayaknya, Buk. Ibuk punya nomor hape ojek langganannya Ibuk, gak?"

"Bentar Ibu teleponin." Sembari menunggu bu Sarah, Ais mengecek motornya lagi. Ia sedikit paham dengan motor karena dulu ia sempat belajar dari Juna yang hobi mempreteli motor tapi tidak bisa mengembalikan ke semula. Kalau Juna buka bengkel mungkin terima bongkar tak menerima pasang.

"Is, orangnya gak bisa soalnya lagi di Surabaya." Ais menoleh dan mengangguk.

"Bu, ojek yang lain biasanya lewat sini, kan, ya?"

"Iya, Is. Coba kamu tunggu aja di depan barangkali Pak Jek lewat. Ibuk masuk dulu mau nengok cookiesnya udah mateng apa belum." Ais mengangguk.

Setidaknya ia tidak begitu terburu-buru karena ia ngajar jam delapan sedangkan sekarang masih jam tujuh pagi.

Ia menjawab telepon saat ponselnya berdering.

"Halo."

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam. Ada apa?"

"Belum berangkat?"

"Bentar lagi berangkat." Ais berlari ke  depan saat melihat orang yang ia tunggu lewat. Meneriakinya sekencang mungkin.

"PAK JEK." Merasa namanya dipanggil, tukang ojek tersebut mengerem mendadak. Ais mengejarnya dengan ponsel yang masih menyala. Ia mengabaikan Nues sesaat. Pria itu masih setia untuk menunggunya.

"Eh, Mbak Ais. Tumben manggil. Ada apa?" tanya pak Jek alias Bapak Ojek yang dulu sering mengantar jemput Ais waktu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

"Pak, bisa anterin ke halte sekarang, gak?"

"Maaf banget, Mbak Ais, ini Bapak mau jemput penumpang juga. Kalau Mbak Ais mau, habis nganterin Bu RT, Bapak anterin."

"Gak perlu, Pak, kalau gitu, soalnya mau berangkat kerja."

"Maaf banget, ya, Mbak. Saya gak enak sama Bu RT."

"Gak pa-pa, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu." Ais kembali ke rumahnya dengan helaan napas. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia kembali ke ponselnya. Ia lupa kalau tadi sedang berbicara dengan Nues.

"Maaf, aku tinggal sebentar tadi."

"Tadi aku denger kamu nyari ojek, ya? Buat siapa? Sampai gak mau nunggu."

"Bukan buat siapa-siapa."

"Is, aku gak mau denger kamu bohongin aku."

"Buat aku."

"Buat kamu? Tumben naik ojek? Motor kamu kenapa? Motor kamu ke mana?"

"Gak ke mana-mana."

"Kamu gak suka dibohongi tapi kamu ngebohongi aku. Jujur, Is."

"Motor aku mogok. Mesinnya dinyalain gak bisa. Makanya aku nyari ojek, ternyata ojeknya punya job lain. Jelas?"

"Kalau gitu aku anterin. Kamu tungguin di rumah."

"Eh, gak usah."

"Aku gak nerima penolakan. Aku berangkat." Nues mematikan sambungan teleponnya.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang