Part 27

106 20 11
                                    

Ais menggeliat di atas ranjangnya. Meraih benda pipih yang tergeletak di nakas. Sedari tadi ponselnya terus berdering membuat tidurnya terganggu. Netranya melihat siapa yang menelepon. Ia bangun, terduduk, dan merapikan rambutnya walaupun wajahnya terlihat seperti baju yang belum disetrika alias kusut. Pak Dani meneleponnya lewat video call. Dengan malas, gadis berkaus kuning itu menggeser tombol hijau.

"Ada apa, Pak, pagi-pagi udah telepon?" tanyanya malas.

"Heh, udah siang tau. Lo ngelibur napa gak ngajak-ngajak?"

"Udah siang?" Ais melihat jam dindingnya. Ia baru tahu kalau sudah siang. "Ngapain gue ngajak? Kerja sono yang rajin biar cepet nikah!"

"Woe, Is. Enak banget lu libur?" sahut Pak Key yang tiba-tiba muncul.

"Is, ngopi, yuk?" susul Pak Cahyo.

"Lo lamaran, ya, sampai gak masuk kerja?" tanya Pak Agus tiba-tiba.

"Woaaaaah, jangan-jangan lo mau nikah, ya?"

"Gak nyangka gue lo bakal nikah."

Ais langsung memutus panggilan tersebut. Pagi-pagi sudah nyebar kabar tidak benar. Membuatnya sebal saja.

Ia beranjak dari kasur. Mencharger ponselnya yang tinggal dua persen, lalu ia keluar kamar. Di dapur ia melihat ibunya tengah sibuk membuat sesuatu.

"Ibuk lagi bikin apa?" tanyanya melihat apa saja yang ada di depan Bu Sarah.

"Ibu dapet pesanan brownis dari mbak Maya. Tetangga seberang sana, deketnya jalan raya. Katanya nanti sore mau dibuat pengajian di rumahnya."

"Ais bantuin, ya. Kotaknya udah dibuat belum, Buk?"

"Belum."

"Kalau gitu biar Ais aja yang bikin." Ais hendak mengambil kertas yang ada di atas meja, namun dihentikan oleh Bu Sarah.

"Mandi dulu sana! Kamu baru bangun, kan? Mandi, sarapan, baru deh bantuin Ibu. Ntar kalau gak mandi belek kamu jatuh di kardus gimana?"

"Ya kali, Buk, belek Ais segede itu. Ya, udah Ais mandi dulu." Ais berlalu pergi ke kamar mandi.

Usai mandi ia kembali ke tempat yang tadi. Mulai membentuk kertas menjadi kardus. Sedangkan bu Sarah sedang sibuk memotong brownis yang sudah matang menjadi beberapa bagian agar pas saat di taruh di kardus.

"Kamu cuti apa enggak mempengaruhi target kamu, Is?" Bu Sarah duduk di samping Ais sembari menunggu sisa brownisnya matang.

"Enggak, kok, Buk. Target Ais hampir tercapai. Cuma kurang lima puluhan jam lagi, kan target Ais gak sebanyak yang kemarin-kemarin," jelasnya.

"Makin hari Ibu lihat kamu banyak senyum. Efek Nues?"

"Kan Ibu pernah bilang kalau tak semua lelaki seperti Lukman."

"Syukurlah kalau kamu sudah membuka kenyataan itu."

Ais tersenyum."Aku juga capek, Buk, kalau terus seperti itu," keluhnya. Menutup hati dan terus terpaku pada masa lalu itu sungguh tidak mengenakan sekali. Membuat hati terus-terusan merasakan nyeri.

"Ibu juga lelah ngeliat kamu yang kayak es," balas Bu Sarah.

"Juna jarang ke sini lagi, Buk?"

"Juna sibuk, Is. Kemarin mampir ke sini bentar terus bilang kalau pagi kerja jadi pengantar koran ke rumah-rumah sambil berangkat sekolah terus sore sampe malem jaga stand martabak katanya," jelas Bu Sarah.

"Kasian juga dia. Baru sekolah udah kerja keras."

"Salah kedua orang tuanya yang ninggalin dia tanpa kabar dan hanya hidup sendirian sama emak." Bu Sarah merasa iba dengan anak itu. Sejak kecil Juna memang dirawat oleh keluarga Ais, tapi semenjak masuk ke sekolah menengah pertama, cowok itu memilih pulang bersama emaknya (neneknya) ke rumahnya dan hidup mandiri. Kedua orang tuanya tak pernah menjenguknya. Pernah sekali, ibunya. Namun Juna tolak dan enggan menemuinya.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang