Part 5

212 28 7
                                    

Cuaca sore hari ini sangat bersahabat. Langitnya tampak begitu cantik. Tak begitu panas. Hawanya pun tidak membuatnya gerah, sedikit dingin. Ia memasukkan motor ke dalam garasi. Lalu masuk usai mengucap salam.

"Is, gimana sama kerjaan kamu?" tanya Pak Edi -- ayah Ais, ketika ia baru saja melabuhkan duduk di tengah-tengah kedua orang tuanya. Tumben sekali menanyakan hal seperti itu. Sesuatu hal yang sangat langka terjadi. Biasanya juga tidak pernah menanyakan hal semacam itu. Paling-paling nanya sudah makan belum sama jangan tidur malem-malem karena memang hubungan keduanya tidak begitu dekat karena ayahnya yang jarang pulang. Sering merantau ke keluar kota untuk menjadi mandor di sebuah proyek pembangunan.

"Lancar. Ayah kapan sampainya?" Ia balik bertanya.

"Jam tiga sore Ayah sampai rumah." Ais mengangguk.

"Kamu betah kerja di sana?"

"Betah." Ia mengambil cookies yang ada di meja dengan sekali lahap.

"Tapi, Is, jangan karena terlalu nyaman kerja, kamu lupa buat ngurus diri kamu sendiri," ucap Bu Sarah yang tengah mengusap puncak kepala Ais dengan lembut. Nah, ini Ais tahu ranah pembicaraan sang ibu ke mana.

"Bukannya apa-apa, Ibu sama Ayah cuma khawatir kamu lupa ngurus diri kamu sendiri. Usia kamu itu sudah cukup, loh, untuk membangun sebuah rumah tangga. Kamu gak pengen gitu buat nikah? Semua temen-temen kamu udah pada nikah, kamu kapan?" Nah, sudah Ais duga bakal menanyakan hal ini lagi. Bukannya Ais tidak memikirkannya, tapi ia masih enggan membuka hati lagi setelah kejadian di masa silam. Menurut Ais, nih ya, menikah haruslah dipikirkan dengan matang-matang, bukan hanya karena yang lainnya sudah jadi, harus buru-buru nikah biar seperti yang lainnya. Tak masuk akal sekali. Toh, jika penulis skenario kehidupan sudah menyuruhnya untuk menikah juga bakal nikah. Kalau Sang Pencipta belum merestui, sampai menangis darah pun juga tidak akan dikasih jalan untuk nikah. So, mengikuti arus kehidupan saja sembari berdo'a kepada-Nya agar disegerakan jodohnya.

"Ais tau, Buk, tapi enggak sekarang. Masih ada banyak hal yang ingin Ais lakuin. Lagian menikah itu bukan hanya nyari pendamping hidup, tapi mencari imam yang bisa membimbing Ais ke jalan lurus-Nya," tukas Ais.

"Ibu tau kamu masih belum bisa membuka hati karena Lukman, kan?" Ais memilih diam kalau membahas laki-laki itu. "Jangan menutup hati kamu, Is. Tidak semua laki-laki itu seperti Lukman. Contohnya Ayah kamu. Sebatas kenal juga gak pa-pa siapa tau kan jodoh. Iya kan, Yah?"

"Iya, lah. Temennya Ayah juga banyak yang nanyain kamu, Is. Katanya mau jadi suami kamu. Bahkan kemarin ada yang langsung nanya ke Ayah buat ngelamar kamu. Gimana?"

"Siapa?" tanyanya kepo. Sebenarnya Ais sudah tahu siapa yang ayahnya maksud, ia juga kenal bahkan sempat dekat juga, dekat lewat sosial media.

"Saka." Ais hanya tersenyum samar. Dugaannya tepat. Pria yang kemarin malam menyapanya hingga membuatnya terlonjak memiliki ketertarikan terhadapnya. Bukannya GR, tapi apa yang Saka lakukan ke Ais sangatlah ketara sekali, menggombalinya lewat pesan singkat dan perhatian kecil saat mereka tidak sengaja berpapasan.

"Tapi, Ayah tolak."

"Kenapa?" tanya Ais spontan dengan kerutan di dahinya.

"Karena Ayah ingat kalau Ayah punya janji sama teman Ayah buat menjodohkan kalian."

"Jo- Jodoh?" tanya Ais terbata-bata saking kagetnya. Memangnya perjodohan masih ada di era milenial kayak sekarang ini?

"Iya. Itu pun kalau kamu mau. Ayah enggak maksa. Kamu bisa pikirkan dulu, tapi Ayah berharap kamu mau."

Ais tidak tahu harus berekspresi bagaimana lagi. Otaknya tiba-tiba blank. Jodoh? Ia bahkan tidak menyangka akan di jodohkan karena itu hal yang jauh sekali dari pikirannya.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang