Part 13

94 19 0
                                    

Nues bertempur dengan berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya. Masih banyak laporan yang harus ia cek. Sesekali menghela napas berat. Kepalanya terasa berat kala harus melihat angka-angka yang tercetak rapi di kertas yang ada di hadapannya. Dari pagi, setelah mengantar Ais dan bertemu Jojo sampai sekarang yang ia lihat hanya angka-angka di lembaran-lembaran putih hingga membuat matanya memanas.

Ekor matanya melirik ke ponsel yang sedang menyala menandakan ada pesan masuk. Tangan kanannya meraih ponsel yang ada di dekat berkas. Membuka kunci layar dan membuka pesan. Ia pikir Ais yang mengirimi pesan. Memintanya untuk menjemput gadis itu. Ternyata dari papanya.

"Seberapa keras kamu nolak aku, aku bakal berjuang, Is," gumamnya.

Jarinya dengan lincah membuka menu galeri. Membuka sebuah foto yang sempat ia tangkap kemarin secara diam-diam. Siapa lagi kalau bukan Ais.

"Bagaimana bisa aku berhenti menyukai mata itu kalau mata itu terlalu indah untukku." Nues jadi teringat pertemuan pertama karena kejadian di lampu merah beberapa hari yang lalu.

"Permisi, Pak." Suara ketukan pintu membuatnya mendesah kesal. Ia ingin beristirahat sejenak namun, selalu saja ada yang mengganggunya.

"Masuk."

Seorang wanita masuk dengan membawa berkas yang cukup banyak.

"Ada apa?" tanya Nues seraya meletakkan hapenya di atas meja.

"Ada beberapa berkas yang harus Bapak cek."

"Taruh saja di meja. Kalau tidak ada yang diperlukan kamu bisa keluar." Wanita itu menuruti apa yang diperintahkan oleh atasan yang terkenal dengan sikap dinginnya.

Bahkan saat memasuki gedung kantor saja aura dingin dan menyeramkan sudah terpancar di wajah tampannya itu sehingga para karyawan enggan untuk berpapasan dengan pria itu agar tidak mendapat tatapan tajam dari Nues. Berpapasan dengan Nues sama dengan bertemu dengan malaikat pencabut nyawa.

Nues menutup berkas. Ia keluar dari kantor. Mengendarai motor membelah jalanan yang cukup padat karena jam pulang kerja. Suasananya tidak macet, hanya saja banyak kendaraan yang berlalu lalang.

"Permisi."

"Loh, Mas Nues, ada apa, ya?" tanya Luna yang kaget dengan kedatangan pria itu.

"Apakah mbak Aisnya ada? Saya mau ambil barang saya yang dibawa dia." Hanya itu alasan yang bisa ia katakan. Tadi, ia mengubungi nomor Ais, akan tetapi tidak diangkat juga.

"Mbak Aisnya sudah pulang dari tadi, Mas Nues. Atau bisa pesan ke saya, besok biar saya tanyakan ke mbak Aisnya," tawar Luna.

"Tidak usah. Kalau begitu, saya permisi. Terimakasih."

"Sebentar, Mas Nues." Pria yang hendak melangkah itu berhenti. Satu alisnya terangkat. "Mohon maaf, ya, Mas, sebelumnya. Misalkan mulai besok Mas Nues belajar dengan pak Agus, kira-kira bisa apa tidak, ya? Soalnya mbak Ais--"

"Saya tidak bisa. Saya hanya mau mbak Ais yang mengajari saya. Saya permisi," potong Nues kemudian berlalu pergi.

Luna menghempaskan tubuhnya di sandaran kursi. Ia tidak sanggup untuk merayu Nues dan menuruti apa yang Ais perintahkan. Besok ia akan menyuruh gadis itu untuk berbicara langsung ke yang bersangkutan.

Sedangkan pria itu memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Ia sungguh kecewa sekali sebenarnya. Ais tidak memberitahu kalau ia pulang sendiri, ditambah ia akan dipindah ke instruktur lain. Ia yakin semua itu atas perintah Ais. Untung saja temannya memberitahu kalau motor Ais sudah diambil oleh pemiliknya. Meski ia sangat kecewa, tapi ia harus tetap waras untuk memerjuangkan cintanya. Ia membelokkan motornya ke hotel. Melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

Tender Love (Judul sebelumnya 'ICE')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang